Minggu, 13 April 2014

Serial catatan Perjalanan; Rumah*

Rumah itu menghadap ke laut, laut yang luas. Airnya transparan dalam gradasi hijau lalu biru menerpa hingga ke bibir halamannya. udara berhembus sepoi khas aroma samudera, semilir angin bermain dengan anggukan lambaian nyiur yang berbatang rendah. Ada pohon Waru berdampingan dengan Ketapang berdaun rimbun tumbuh tegak di depannya, tempat anak-anak berteduh beralas pasir putih yang bersih. Rumah itu tanpa pagar tak ada pembatas dengan alam, seolah menyambut dengan hangat siapapun yang datang. Silahkan duduk di terasnya, bersandar pada kursi dari kayu, menikmati lapangnya pemandangan. Jauh di timur sana dalam samar terlihat pucuk-pucuk gedung tinggi Makassar tampak menyeruak dari balik kabut lautan. pandang ke selatan lebih luas, lebih jauh lagi sampai menyentuh garis ufuk, pada garis di mana langit dan bumi berpelukan secara utuh sempurna tanpa celah. lalu-lalang nelayan pulang pergi melaut, ada anak-anak menurunkan hasil tangkapan ayah mereka, sumringah mengangkat ikan besar bergigi tajam, ia sebut ikan Tinumbu. Ada juga anak-anak kecil berlarian di jembatan menuju dermaga, bermain, melompat, lalu menghentak-hentak tali kail tanpa umpan. Rumah itu jelas mengagumkan, dari jendela tak berkaca kita bisa menikmati semburat mega dari ufuk timur saat matahari baru menyingsing. Cahaya pagi berkilauan, menerpa tapi tak menyengat. Bila malam tiba terhampar langit bertabur cahaya gemintang, berjumlah ribuan dalam bilangan layaknya lampu-lampu menggantung tanpa tiang, menjadi hiasan menawan juga pandu bagi nelayan-nelayan yang tak punya pedoman. Rumah itu lalu mengingatkan tentang perjalanan, tempat memulai pencarian hingga kembali mengakhiri apa yang telah dimulai itu. Tentang apa yang kita temui di luar sana, di tempat-tempat yang jauh, di negeri-negeri yang asing, di tanah dan celah yang terpencil, menantang bahaya, menjawab rasa penasaran, bertemu banyak orang, melihat ragam peradaban, lalu pulang merenungkan perjalanan itu, pergi lagi kemudian pulang lagi, di rumah itu. Rumah memang selalu terhubung dengan perjalanan, karena ia selalu mengingatkan saat pulang, dan kita paham bahwa seluruh perjalanan kita sesungguhnya berjudul pulang, ingatlah bahwa sejauh manapun langkah telah menjejak, seluas apapun bumi telah dipijak pada akhirnya semua pasti bermuara pada jalan pulang ke rumah-Nya. *Sebuah Rumah di Kodingareng, 16 Maret 2014

Relawan(?)

Kiranya tak salah bila ada yang beranggapan, bahwa pekerjaan-pekerjaan di ranah kemanusiaan memang serupa candu, ia mempunyai efek addiksi yang kuat. Sekali saja engkau terlibat di dalamnya, maka ia akan senantiasa membuatmu ingin mengulangnya, merasakan tantangannya, mananggung resikonya,dan menikmati lelah letihnya. Tanyakan saja pada kuli kemanusiaan itu. Mereka yang memilih jalan yang tak banyak dilalui orang. Tak menjanjikan materi, jauh dari keluarga dan orang-orang kecintaan, tak jarang meminta pengorbanan yang besar. Adakah mereka bosan, ataukah ingin berhenti. Engkau akan menemukan mereka dalam gelengan yang kuat, tegas mengatakan tidak. Bahkan bila mereka sedang jeda yang panjang, mereka sebenarnya bukan mengambil jarak dari pekerjaan itu, selalu ada asa yang senantiasa dipelihara kuncup dalam perasaannya, bilamana waktunya tiba, kembali ia menuntaskan kerinduannya, mengambil bagian dalam rombongan orang-orang “aneh” yang bekerja dengan mewakafkan dirinya sebagai fajar bagi kehidupan orang lain. Baginya bahagia itu sederhana, bila terbit binar dalam pantulan anak mata sesamanya, mereka telah puas. Dan itu telah cukup. Pembenar petuah lama para bestari bahwa bahagia adalah apa yang engkau rasakan ketika membuat sesama bahagia. Dan bila engkau masih juga belum mengerti, tak perlulah diambil pusing, mereka juga bukanlah orang-orang yang penting, mereka hanya kumpulan orang-orang yang “aneh”. Mereka serius terinspirasi dari kalimat- kalimat ini: “Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesama manusia”. (HR. Thabrani dan Daruquthni). Dan katakanlah; “ Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu daan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghoib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan ( QS Attaubah 105). **Ada orang-orang yang berangkat meninggalkan rumahnya, melepaskan kemapanan, bekerja dalam senyap, memilih jalan sepi dan tentu saja tanpa tendensi pragmatis, semata-mata untuk memberi manfaat bagi sesama dan mencari keridhoan Tuhannya. Merekalah para relawan, dan kita paham bahwa tak ada relawan yang menagih kompensasi!

Kamis, 23 Januari 2014

Catatan Perjalanan; Pulau Kecil di Timur Jauh

Akhir tahun tepat ketika Desember hampir selesai menanggalkan semua hari-harinya, menyisakan penghujungnya saja yang beberapa , cuaca kota Sorong sangat bersahabat, langit biru cerah, awan-awan berarak ringan bersama angin yang membawanya dengan begitu tenang. Kali ini hujan tak datang berderai-derai , tak seperti lazimnya Desember yang selalu basah. Musim yang sumringah, ya, tentu saja ini membuat kami tambah bersemangat memenuhi sebuah undangan dari kawan-kawan CI (Conservation International) Indonesia, sebuah lembaga konservasi yang keras kepala menjaga dan memelihara ekosistem dan sumber daya alam hayati perairan di Raja Ampat dan tak lupa melakukan pembinaan masyarakat pesisir. Mereka mengajak untuk melakukan perjalanan ke Kepulauan Ayau, dalam sebuah perhelatan budaya tahunan masyarakat setempat merayakan Natal dan Tahun Baru. Sebenarnya undangan ini adalah dalam kapasitas sebagai tim medis untuk memberikan pelayanan kesehatan ke masyarakat Pulau terluar Nusantara tersebut, tapi lebih dari itu, bagi kami hal ini tentu saja menjadi momen liburan dan petualangan menantang akhir tahun. Sekiranya kita membuka peta Nusantara,di ujung timur, celah antara kepulauan Maluku Utara dan tanah hijau Papua maka terdapatlah kepulauan Ayau ini tampak sebagai gambar bulatan atau justru sekedar noktah kecil di perairan bagian utara kepala burung Papua. Faktanya kepulauan ini memang hanyalah gugus pulau kecil yang tampak terapung-apung di bibir samudera Pasifik, sejenak saja berjalan sedikit lagi ke arah utara maka sampailah kita di negara tetangga Republik Palau di kawasan Pasifik. Dengan speed boat yang diawaki motoris dari CI, bergabung juga bersama kami dua peneliti berambut jagung, sepasang anak muda dari Amerika, mereka mempunyai minat yang tinggi terhadap kehidupan orang-orang pesisir, terkagum-kagum dengan Indonesia yang kemudian membawa mereka tiba di nusantara, lalu ‘tersesat’ di Raja Ampat menekuni pengamatannya di sini. Bersama mereka rombongan berangkat bergerak membelah perairan Raja Ampat. Perjalanan ini sungguh menakjubkan, dari tepiannya, laut masih tampak begitu bersahaja dengan riak-riak bermain di atas permadani biru yang lembut, namun semakin jauh berjalan semakin hebat arus laut menderas, gelombang bergulung seperti bukit yang bersusul-susulan, ombak diikuti ombak, setelah ombak masih ada ombak, lalu di baliknya menggulung ombak lagi. Boat melayang di puncak gelombang lalu terhempas di dasarnya lalu bersiap pada gulungan selanjutnya, keadaan ini sungguh mendebarkan dan menguras adrenalin dan tentu saja berhasil mengaduk-aduk isi rongga perut. Walaupun mendebarkan, ketegangan perjalanan ini tetap saja masih mengalah dari daya pukau yang tersuguhkan, bukan Raja Ampat namanya bila tak mempesona. Pasir putih dan pulau sunyi sebuah harmoni dengan nuansa misterius, memukau dengan segala kemungkinan. Lumba-lumba yang mengiring mendekat-dekat di samping kiri-kanan boat dalam jumlah puluhan bahkan mungkin sampai ratusan, bermain dan berlompatan seperti rombongan pasukan karnaval yang riuh, parade ikan-ikan terbang yang bermanuver rendah diatas permukaan air adalah pemandangan seru yang lain. Ini seperti perjalanan kedunia fantasi memasuki dunia lain yang asing, seperti khayalan tapi ini benar-benar nyata. Beberapa jam perjalanan ketegangan belum juga selesai, di tengah semudera yang luas, di tengah biru yang tak bertepi, GPS tak berfungsi, tak ada pertanda, tak ada pulau yang menjadi titik acu, kami benar-benar seperti buih yang terombang-ambing ditengah semesta biru kehilangan arah. Benar-benar biru, hanya biru di mana-mana. Di depan biru, di belakang juga biru, menghadap ke atas langit biru tak ada batas, menengok kebawah air laut hanya biru yang mencekam. Tuhan memang melukis semesta dengan warna biru yang banyak. Sementara kami tak piawai menetukan arah dengan membaca pergerakan hembusan angin, tak bisa menarik pedoman dari tabiat arus laut bulan desember, kami telah tersesat di sahara biru. Resikonya besar, salah sedikit saja menentukan arah kami bisa terdampar ke perairan Filipina, bertemu dengan patroli laut, ditangkap, diinterogasi lalu dideportasi layaknya pendatang haram setelah sebelumnya semua harta benda dibumihanguskan. Atau malah terseret ke arah yang lain, terapung-apung di pedalaman samudera yang sunyi, kemudian kehabisan bahan bakar, lalu kehabisan logistik, hilang ditelan kabut Pasifik, samudera dengan legenda yang membekukan semua nyali. Beruntung saat-saat dramatis itu tak berlangsung lama, ketika kemudian kami melihat sebuah perahu besar berwarna hijau melepas jangkar di kejauhan, perlahan kami mendekat semakin merapat, yang rupanya mereka adalah nelayan asal Filiphina yang sedang bersenang-senang dengan santainya memunguti harta karun laut kita , kami menemukan kenyataan betapa masih lemahnya kedaulatan maritim negeri ini. Kawan dari CI kemudian mencoba menasihati tapi tak bisa berbuat banyak, mereka menang jumlah, lagi pula kami jelas butuh mereka, butuh petunjuk arah pulau yang kami tuju. Mendekati pulau, laut tak lagi biru, adalah hijau yang jernih dengan rumput laut yang bergoyang-goyang dan karang-karang yang terhampar, boat melaju perlahan diatas reef yang luas, seolah kami bisa menjangkau saja dasar laut yang putih. Pasir putih yang halus, membentang seperti rentangan panjang yang hangat menyambut kami, juga nyiur yang berbaris rapi di sisi timur tak berhenti melambai seolah-olah menyapa kami. inilah Ayau, pulau indah di sisi terluar nusantara. Pulau ini mungil saja, anda takkan kelelahan berjalan menemukan ujungnya dari sisi yang lainnya, paginya bisa menikmati matahari yang menguncup dari samudera, sorenya boleh mengagumi senja yang memerah, matahari tergelincir di kaki langit. Tapi cerita pulau ini bukan hanya tentang keindahan yang tak selesai-selasai, tapi juga tentang orang-orang yang menarik, juga budaya yang unik. Orang-orang di sini lebih senang beralas pasir, tidur dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga di atas pasir, rumah-rumah tanpa alas hanya pasir, anak-anak hingga dewasa menyukai pasir, mereka tak membutuhkan permadani yang empuk apalagi yang mahal-mahal, seluruh pulaunya adalah pasir, mereka tak perlu tergoda atas selainnya. Mereka menikmati hidup dengan cara-cara yang sangat sederhana, berbahagia dengan jalan yang bersahaja. Dan tepat pada hari yang telah ditentukan, hari karnaval budaya, berbondong-bondonglah kelompok masyarakat datang dari pulau-pulau sekitar, rombongan datang dengan antraksi masing-masing, suara tifa, rebana, seruling dan terompet bersahut- sahutan, setiap kelompok menunjukkan kehebatan timnya berpawai, tak kurang dari 24 jam tak ada jeda keriuhan membahana, siang hingga malam hingga siang lagi tak berhenti, mereka meluapkan semangat seperti karasukan, berjalan, melompat, berputar-putar dalam kegaduhan alat musik tradisional, setiap satu kelompok istirahat diganti oleh kelompok yang lain, hari itu pulau tak bisa tidur walau sejenak. Inilah pesta mereka mungkin untuk membayar sunyi sepanjang tahun di pulau mereka yang terpencil, sungguh-sungguh terpencil. Akhirnya kami tahu ini sungguh perjalanan yang mengagumkan, bukan saja tentang petualangan-petualangan menggoda tantangan, atau suguhan panorama yang menakjubkan, tapi juga perjalanan budaya membaca keragaman manusia, kebiasaan serta juga kearifan. Dan berharap ini juga adalah perjalanan ruhiyah, sebagai laku transendensi, menyimak kebesaran-Nya, menjernihkan kesadaran dan menemukan lagi seribu alasan untuk bersyukur. Semoga.

Kamis, 26 Desember 2013

Serial Catatan Perjalanan; Mesjid yang Sendiri

Di sebuah camp pengungsi dekat Lokh Nga, kami tinggal dalam satu tenda bersama seorang Bapak, istri dan kedua orang anaknya. Tenda kami cukup luas untuk ditinggali bersama-sama. Biasanya saat makan bersama sang bapak atau istrinya bercerita tentang kejadian pagi itu, ketika gempa lalu tsunami yang dahsyat itu terjadi. Suatu pagi mereka mengajak kami ke lokasi bekas rumahnya dulu berdiri, sambil mencari-cari kalau-kalau bisa menemukan jazad anaknya yang hilang, berharap ada diantara reruntuhan puing-puing yang tersisa. Kami berangkat pagi-pagi naik sepeda ontel yang dipinjamkan sang bapak, menuju kampung Lampuuk dekat pantai Lokh nga. Matahari sudah beranjak naik saat kami tiba di pantai, kami di suguhi dengan pemandangan yang menggetarkan, membayangkan kalau dulunya tempat ini adalah kawasan yang indah, ramai dan sibuk, tapi hari itu laut hanya sepi, ombak yang mendebur di pasir pantai yang putih seolah nyanyian yang pilu, angin berhembus membelai-belai sisa batang pinus yang patah berserak, niyur yang terpekur besujud menghadap ke barat, bangunan-bangunan yang roboh menyerah kalah rata memeluk tanah. Sesekali anjing-anjing berlarian diantara gundukan tanah dan batu melolong ataukah mungkin sedang menangis pilu, entahlah, kami juga tak tahu. Kami Seperti sedang berdiri di tengah kuburan yang luas, terasa sepi meski sesungguhnya tidak. Pagi itu melihat dahsyatnya akibat dari tsunami, sesungguhnya cukup membuat hati bergetar, tak ada yang tersisa kecuali yang izinkan oleh Allah, semua tersungkur; tiang-tiang, pohon, menara, rumah, kantor, jembatan atau apa pun. Tak ada yang tak bersujud kecuali yang Allah pilih untuk tetap tegak. Adalah sebuah mesjid di tengah reruntuhan terlihat di kejauhan, sendiri dan tetap tegak. Di Kampung ini tak satu pun bangunan yang bertahan untuk tetap tegak kecuali mesjid ini sendiri. Sepanjang mata memandang kami tak mengerti bagaimana tsunami itu bekerja membuat semua bangunan lain menjadi rata seperti remah-remah berserakan, atap dan dinding bangunan terlepas menyisakan pondasi sebagai jejak. Seorang kawan segera bersujud di lantainya yang masih berpasir begitu memasuki ruangnya. Saya hanya bertasbih mengulang-ulang nama Allah di sini memperhatikan pilar dan dindingnya yang tetap kokoh, hanya ada sedikit bagian yang retak dan terbuka. Kami kemudian menyempatkan naik ke atap mesjid, berdiri dekat kubahnya yang megah. Melihat sekeliling dari atas walau sesungguhnya kami sedang menyaksikan kengerian yang hebat. Bangunan ini betul-betul sendiri, seolah memang sengaja disisakan agar menjadi berita dan pelajaran, beginilah titah Tuhan bekerja, cukup baginya “Kun” maka Fayakun (“Jadilah” maka jadilah ia). Lembah ini pasca tsunami benar-benar menjadi lembah yang sepi, hanya tersisa sebuah bangunan yang tegak sendiri. Sebuah tempat untuk bersujud…kepada-Nya. “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (Al qur`an Surah As-Sajdah : 15) Mengenang 9 Tahun Tsunami Aceh, 26 Desember 2013

Serial Catatan Perjalanan: Mesjid Tua Wapauwe

Bagi yang pernah ke Ambon tentu tak ingin meyangkal tentang sentuhan surga di tanah ini, paduan pantai yang indah dan perbukitan yang ditumbuhi rempah-rempah adalah sebagaian daya tarik yang selalu dikagumi. Dalam catatan sebelumnya telah saya ceritakan tentang keindahan jazirah ini, tentang pantai yang berpagar nyiur, pasir putih dan ombak yang tak berhenti berkejaran lalu kontras perbukitan di sisi yang lain, juga pesona budayanya. Satu lagi yang ingin saya tambahkan tentang sebuah mesjid tua yang bertutur tentang sejarah panjang Islam di Nusantara. Berjalan ke arah utara lebih kurang satu jam perjalanan dari kota Ambon, kita akan menjejak jazirah Leihitu, negeri para raja dan kapitan.Pada sebuah kegiatan pelayanan kesehatan di negeri Hila, Leuihitu, bersama kawan-kawan dari RS Al Fatah Ambon, mereka mengajak saya untuk menyempatkan melihat sebuah situs bersejarah, sebuah mesjid tertua di Nusantara. Tertegun melihat mesjid tua itu saat pertama kali, adalah Mesjid Tua Wapauwe atau Mesjid Tua Hila orang menyebutnya, mesjid sederhana yang masih mempertahankan bentuk aslinya sejak di bangun pada tahun 1414 silam. Sangat sederhana dengan atap ayaman daun rumbia dengan dinding dari pelepah sagu yang telah dikeringkan. Tak ada satu pun paku melainkan menggunakan sasak kayu untuk menghubungkan antar bagian bangunannya. Merinding rasanya saat masuk kedalam biliknya, kain putih serupa kafan tergantung mengelilingi ruangan, dengan bendera tegak di sisi mimbar khatib. Saya menyempatkan shalat ashar di sini, di mesjid yang menjadi saksi jejak Islam yang telah begitu tua di Nusantara. Mesjid yang telah berdiri bahkan jauh sebelum Muhammad Al Fatih membebaskan Konstantinopel yang menjadi pintu masuknya Islam ke Eropa pada tahun 1453. Di dalam mesjid masih tersimpan dengan rapi perkakas atau bagian-bagian mesjid awal yang telah diganti, juga terdapat mushaf Al Quran yang berusia ratusan tahun bertulis tangan. Satu hal yang unik bahwa sebenarnya lokasi mesjid tua yang sekarang bukanlah lokasi mesjid tua saat pertama didirikan, tapi dari penuturan beberapa orang yang saya dengar bahwa dulu sekali pada suatu pagi, tiba-tiba orang-orang menemukan mesjid ini telah berpindah secara gaib dari tempat semula ke tempat sekarang tanpa di ketahui bagaimana prosesnya berpindah. Wallahu alam.