Jumat, 13 Februari 2009

Lelaki cahaya 2

Ia telah lupa kapan terakhir kali tangisnya pecah dalam shalat, saat pundak bergetar dalam sujud panjangnya, ketika keluh dialirkan luruh bersama doa-doa yang terangkai meminang keridhoan Tuhannya. Waktu itu air mata jatuh tak terbendung, seperti hujan turun di puncak musim. Seperti bah yang membawa keresahan-keresahan menjauh. Sungguh ia telah lupa kapan terakhir kali, ketika ia datang berserah dengan sempurna penghambaan.
Lalu tiba-tiba datang kerinduan itu, hadir bersama panggilan kemuliaan yang menyeruak menembus jauh kedalam celah batin yang paling dalam, berdiam di sana, menerangi ruang-ruangnya. Dan kembalilah sebuah jiwa yang lama terbuai dalam tidur panjangnya.

Sebuah jiwa telah datang
Maka selamat datang jiwa perindu, jiwa yang telah mencukupkan dirinya dengan Allah.
Kini ia telah mengerti bahwa tak ada lagi pilihan untuk kalah.
Maka engkau akan kelelahan menantinya selingkuh dari jalan idealisme, bahkan hingga kesabaranmu sendiri kehabisan kesabarannya. Sampai waktu udzur atau warna pudar dengan sendirinya.
Lalu mengapa engkau masih mencoba lagu lama, menakutinya dengan auman angin dan kilatan halilintar, sungguh sekali lagi engkau akan kecewa, sebab kini ia telah banyak belajar di bawah asuhan badai dan petir.
Seperti juga bila engkau mencoba membuatnya luluh dengan kerlingan atau air mata. Sayang sekali bahwa ia adalah lelaki yang tak lagi terusik dengan melodrama cap kakilima yang banjir intrik dan tipudaya.
Semua telah sama-sama mafhum, bahwa di ujung pertarungan ini, satu akan bertahan dan satu lagi akan pergi membuang muka dan membawa luka. Dan sebab ia tak punya pilihan untuk mengalah, maka tahulah kita siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dialah sang lelaki cahaya.

Papua, sepertiga malam terakhir -Tengah Februari 2009