Senin, 12 April 2010

Selalu Ada Kabar Baik

“…supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”.( QS Al Mulk : 2)

Proses belajar adalah bagian dari hidup yang tak boleh selesai dengan sehari dua hari dalam perjalanan waktu kita. Ia seharusnya adalah ikhtiar yang kita usahakan pada seluruh jatah umur itu, belajar tentang apa saja, demi menuju proses penyempurnaan diri, termasuk diantaranya tentang penyerahan diri dan memelihara persangkaan baik kepada Allah, belajar bersabar dan berlapang dada pada setiap keputusan-Nya.

Bahwa kita mungkin pernah menjadi pendengar dari tutur sahabat yang membagi keluhnya tentang kegagalan yang berkali-kali menderanya, tidak hanya sekali, dua kali, tapi sampai berulang kali, namun tak juga kunjung menemukan titik terang atas kekecewaannya. Atau sahabat yang lain ketika bercerita tentang penantiaannya yang begitu panjang. Sampai khawatir kehilangan kesabaran. Atau bahkan terkadang justru kita menemukan diri sendiri tiba pada sebuah titik letih, yang membuat keruh keyakinan yang seharusnya jernih, lemah untuk merawat keteguhan. Lalu bertanya dimanakah ujungnya sebuah kesabaran?

Di sinilah letak titik krusialnya, karena sering pertanyaan itu muncul sebagai isyarat menurunnya kadar keyakinan kita, melemahnya kesetiaan kita untuk bertahan pada prsangka baik yang terjaga kepada-Nya. Pertanyaan yang sering mengalihkan kita dari berdisiplin untuk senantiasa berpikir positif dan berlapang dada. Lalu akhirnya kita tergesa-gesa untuk untuk mengambil kesimpulan, dan seolah kita cukup ilmu untuk memvonis bahwa kehidupan telah berlaku tidak adil.

Demikianlah kenyataannya sering diantara kita terlalu berani menuding Tuhan dengan tuduhan yang sungguh tak sopan, bahwa takdirnya begitu kejam.

Tak ada yang kebetulan.
Bukankah kita telah sama paham bahwa tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, setiap detail dari sebuah peristiwa adalah rangkaian bagian-bagian konstruksi dari rancangan bangunan kehidupan kita, selalu ada alasan dari kehadiran bagian dari detail-datail peristiwa tersebut, yang akan saling terkait, saling mengokohkan, saling mengindahkan bagian yang lain. Satu jalan takdir menjadi sebab takdir yang lain, atau menjadi jawaban dan alasan takdir lainnya. Sebuah rangkaian konstalasi yang rumit dan sempurna sekaligus menjelaskan keindahan hikmah dan kebikjasanaan Rabb Sang pengatur kehidupan.

Jika seandainya Tuhan berkehendak untuk memaparkan secara terang seluruh detail takdir kita lengkap dengan setiap alasannya, disertakan dengan seluruh hikmahnya, maka tentulah kita akan merasa malu dan kemudian dengan sepenuh hati menyerahkan semua urusan itu kembali kepada-Nya dan tak ingin punya pertanyaan lagi. Tapi kenyataannya banyak alasan dari takdir kita tetap menjadi rahasia-Nya, dan disinilah ujian itu, sebab Tuhan ingin melihat siapa diantara kita yang terbaik kualitas imannya.

Pernah seorang guru berujar; “bahwa sejatinya tak ada kabar baik atau buruk, yang ada hanyalah kabar, kitalah yang melihat sesuatu itu sebagai kabar baik atau meyimpulnya sebagai kabar buruk”. Kitalah yang membangun kenyataan dengan persepsi itu. Sebuah pesan yang dalam untuk bersikap dewasa pada setiap kejadian atas kita. Pesan yang mengajak kita masuk pada inti kearifan. Namun sebagai orang yang beriman bukankah lebih layak kita berkata; “bahwa sejatinya tak ada kabar buruk, bagi mereka yang yakin hanya ada kabar baik, selalu ada kabar baik”. Sebab setiap keputusan
Tuhan tidaklah berkehendak kecuali kebaikan untuk kita. Hanya saja wajah keindahan takdir-Nya hadir tak selalu indah dalam pandangan lahiriah kita. Maka kualitas imanlah yang mampu menangkap hikmah dan keindahan yang tak kasat mata itu. Melalui kesabaran yang tak letih dan prasangka baik yang terawat dengan yakin.

Maka tak perlulah kita berduka atau kecewa atas kehidupan, sebab dibalik semua keputusan-Nya ada alasan yang pasti indah. Bersabarlah sedikit lagi dan temukan diri menjadi lebih berbahagia. Wallahu `alam.- n

Bunta- Banggai, Ba’da Jumat 9 April 2010

Merindumu*

“…Kini aku mengerti, mengapa rindu bisa membuat seorang laki-laki menangis.”

Telah berapa hari berlalu tanpa dirimu, tak ditemani siapa-siapa kecuali rindu. Ia yang kini selalu menemaniku setia tak kenal waktu, pada awal pagi, saat tengah hari, ketika senja menjelang, bahkan sepanjang malam ia selalu saja datang. Awalnya kupikir ia akan menjadi kawan “sparing partner” yang mudah ditaklukkan, namun tambah hari ia semakian kuat, menyeretku dalam sunyi yang panjang, lalu menyekapku pada jenuh yang jauh, hampir hampa.

Rindu itu selalu saja hadir dengan kenangan-kenangan yang lekat akan dirimu. Saat awal pagi, ia menghadirkan kembali wajahmu yang teduh berbalut mukena merah jambu kesukaanmu, menekuni kitab suci di atas sajadah dalam tilawah yang samar-samar, aku rindu. Bila siang hari, kembali ia mengenangkan akan dirimu, seolah engkau hadir lagi tersenyum menyambut di balik pintu dan duduk disisiku menuangkan air putih yang tawar, sambil menanyakan kabar pekejaanku hari ini. Kembali aku rindu. Lalu bila senja telah tiba, rindu itu kembali lebih kuat mengundang bayanganmu bertandang, memainkan kembali ingatan-ingatan indah padamu, teringat lagi suatu senja yang indah, berlatar langit memerah saga, tepat ketika matahari turun sedepa di atas garis kaki langit, dan kau tersenyum manis sungguh, hingga membuatku kebingungan, keindahan manakah yang menjadikan aku terpesona, langit senja ataukah rona senyummu. Aku semakin rindu. Dan sepanjang malam rindu itu menyiksaku dalam sunyi yang dingin.

Tapi tak mengapa, inilah saatnya belajar lagi, belajar untuk mengelola rindu sebagai pertanda ikatan yang tak sekedar lahiriah, memelihara komitmen untuk saling menjaga dan menguatkan, belajar untuk setia mencintai dengan cara bersahaja, menuluskan cinta lewat doa-doa yang tersambung jauh. Belajar menyelami rindu sebagai saat-saat untuk berinteraksi dengan lebih halus ke dalam diri. Berlatih untuk lebih teguh dan bersabar serta belajar menerima. Dan pada akhirnya dengan rindu itu, aku jadi tahu telah begitu dalam mencintaimu.-n

*Untuk adikku

Luwuk Banggai, Menjelang tengah malam 12 April 2010