Senin, 28 April 2008

Suatu Senja..


Entah... tiba-tiba tekenang losari ketika duduk di tepiannya, memandang lurus ke Selat Makassar, pada angin mammirinya, kilau keemasan riaknya, tepat pada senja hari, saat surya perlahan menyelam di laut lepas.
Atau ketika aku berdiri terpana kagum dari atas benteng Gotanaha, di sebuah senja. Pada lingkaran keemasan , turun tidak terburu-buru, cahayanya memantul keemasan tepat diatas Danau Limboto.
Juga senja di kampung halaman, ketika burung pulang ke sarang, dari atas bukit kuburan. Selalu ada kagum pada saat terbenam matahari, menyusup di sela pegunungan nun jauh.
Atau di Laut Jawa, dari atas buritan kapal motor, tasbih mengantar ment
ari menemui peraduannya.
Selalu sama. tak pernah kehabisan kagum pada pesona senja kala. Tapi tak hanya itu, bukan hanya keindahannya, senja selalu hadir dengan getaran gelombang aura yang aneh. Menyusup perlahan merambat halus di dinding-dinding perasaan, bening, jujur, kadang sendu.
Entahlah...senja sering kali tiba-tiba menghadirkan kerinduan pada orang-orang tercinta, pada sahabat yang jauh, pada kenangan indah masa lalu. Seperti senja ini entah kerinduan itu untuk siapa..?
Senja kala tak jarang menjelma menjadi momen kontemplasi yang khusyuk, me
mberi ruang instrokspeksi yang lapang, seolah cermin yang tempat berkaca diri.
Maka, senja tetaplah sebuah misteri. Momen bagi para pencinta membesarkan romantismenya, seniman menemukan inspirasinya, sastrawan tak pernah selesai membahasakannya, puisi pun selalu indah menuturkannya.
Senja kala selalu berulang, selalu sama di mana saja, indah dan penuh hikmah. Setiap hari ia mengingatkan kita, bahwa pada waktunya kita semua juga akan kembali... ada saat untuk pulang...
Lalu aku terkenang, pada sebuah tembang bugis yang bersenandung tentang kerinduan kala senja menjelang...

Labuni essoe

turunni uddanie

wettunnani massenge

ri tau mabelae...


Saat senja menjelang

hadirlah kerinduan

ketika terkenang

pada orang-orang terkasih jauh nian...

Suatu senja di Ambon, 27 April 2008

Senin, 21 April 2008

Biarkan aku

Jangan bertanya lagi...kawan
mengapa aku bersimpuh luruh
di bawah pilar rumah Tuhan
lelah sudah diri ini meradang
dan berdiri di simpang jalan

Jangan pula memandangku heran ...kawan
kenapa aku mengadu sendu
rebah dalam sujud yang rindu
kini telah senja lagu dan candu

Biarkan aku bertanya, dan menemukan jawaban
pada sepi dan letih
yang menuntunku
pada diri yang sejati.

Ambon, 21 april 2008

Rabu, 09 April 2008

daRi Igor Lukmanovsky

"Profesi hanyalah sebuah subordinat dari kemanusiaan kita, ia hanyalah pakaian yang tidak boleh mereduksi predikat kita sebagai manusia. Profesi dijadikan sebagai alat untuk mengabdi pada manusia dan mempertinggi nilai kemanusiaan"

Trimakasih luar biasa untuk saudaraku lukman "igor" yang telah memberikan motivasinya, semoga terus teguh membesarkan idealismenya. Lebih dari sekedar silaturrahim ia adalah kalimat yang meneguhkan, memberi tenaga. Kita telah sepakat bahwa kemewahan terbesar dari seorang anak muda adalah idealismenya...dan kita masih muda kawan, maka teruslah berjalan dijalur yang telah kita besarkan. Dan satu lagi, waktu tak pernah membuat kita terlalu tua untuk tetap idealis.
Ambon, 9 April 2008

Sabtu, 05 April 2008

Sebuah Kagum untuk Ambon...

Dari puncak bukit terlihat puncak bukit yang lainnya,
lalu di baliknya masih bukit lagi dan
dibawahnya laut tenang tak berombak

Disini, bukit dan laut seperti ditakdirkan berjodoh
Bukit yang membuatnya indah

sementara laut yang menjadikannya sempurna

Jangan dikata bila sedang purnama
dari punggung bukit seolah anak-anak
bisa memetik rembulan


Tanah Rata Ambon, 21/03/08

Pencarian Baru...

Malam ini dingin tak terlalu menusuk, tepat dimana saya harus memantapkan langkah, mengikuti jejak para pendahulu. Selalu berulang mereka mereka mengajarkan sebuah hidup mesti dijalani.
Malam ini sebuah jejak baru di lembaran sejarahku, kali pertama atas nama idealisme, pengabdian, dan pencarian lainnya telah dimulai. Ku awali langkah ini dengan asma Allah yang menguasai takdir, beriring kemudian doa2 pengharapan lolos satu persatu.
Kumantapkan langkah kaki, keyakinan dan prasangka baik sekali lagi. Karena saya yakin, nun disana ada mata yang tak terpejam dari seorang bapak yang tak pernah surut meyakini anaknya. Disana di rumah tempat masa kecil kuhabiskan, doa2 dan kerinduan dari seorang ibu tak putus-putus tersambung ke langit.
Maka aku tak ingin mempercayai perasaan sentimentil dan keraguan ini, aku harus teguh pada penyempurnaan pencarian untuk menemukan mozaik-mozaik takdirku yang lain.
Malam ini, dingin tak cukup menusuk, dengan menyebut asma Allah yang Maha Tinggi, aku melesat dijalan takdirku...


Bandara Hasanuddin, Makassar 17/03/08; 03.30 wita