Selasa, 30 Desember 2008

Tahun Baru 1430 H; Untuk Anak-anak Jalur Gaza, Apa yang Kami Bisa Perbuat Untukmu?

“Kami tak akan meninggalkan tanah air kami. Kami tak akan mengibarkan bendera putih dan tak akan berlutut kecuali pada Tuhan. Ada darah di mana-mana, banyak yang terluka dan menjadi martir di tiap rumah dan tiap jalan. Gaza hari ini dihiasi darah. Martir itu bisa bertambah dan bisa lebih banyak lagi yang terluka. Tapi Gaza tak akan pernah hancur dan tak akan pernah menyerah," Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh (281208)

Kami t
ahu tak ada petasan dan kembang api yang menemani pergantian tahun anak-anak di negerimu, kami juga percaya tak ada arak-arakan dan konvoi pawai kendaraan berhias disambut sorak kegembiraan di jalan-jalan negerimu hari ini saudaraku. Karena anak-anak disana sedang sibuk mengurus roket pelontar dan kembang apinya adalah nyala api yang membakar tanah dan rumahmu. Di jalan jalan hanyalah arak-arakan jenazah korban kezaliman anjing penjajaah Laknatullah alaih, pawai hari ini adalah shaf-shaf yang rapat menjadi pagar hidup membentengi negeri dan izzahmu.

Maka maafkanlah kami, sungguh adalah kemarahan itu milik kami juga, kesedihan pun menjalari sekujur perasaan kami, karena kita tetap bersaudara, tangis dan darahmu adalah tangis dan darah kami juga. Sungguh ada kerinduan untuk berlari bersamamu dalam teriakan takbir melontarkan batu-batu, kami ingin merasakan kegembiraanmu bermain-main dengan hujan peluru, setidaknya kami bisa membantu membasuh dan mebersihkan lukamu dan mencium wangi darahmu.

Saudaraku, maafkan kami, yang hanya bisa menonton dari jauh. Kenapa mesti ada perbatasan antara negeri-negeri kita padahal kita sejatinya satu, satu tubuh, satu penanggungan, satu keyakinan, satu perlawanan. Maafkan kami bila baru sekedar doa kami kirimkan ke langit untukmu. Percayalah saudaraku...ada banyak anak-anak muda di negeri kami sedang menanti giliran, untuk bergabung bersama barisanmu.

Dan terus rayakan tahun baru dengan kemuliaan jihadmu, terangi langit negerimu dengan roket pelontar dan peluru-peluru yang menyala. Terus ramaikan gemuruh tiap sudut negerimu dengan dentuman bom dan sorak takbir membahana. Jangan biarkan anjing-anjing zionis itu tidur nyenyak dan merasa aman berteduh dalam rumah-rumah di balik temboknya.
Sekali lagi maafkan kami, bila baru sekedar doa yang bisa kami persembahkan untukmu saat ini. Besok, kami juga akan hadir di sana, di bumi jihadmu...Semoga.-nuas-

”Ya Rabb, teguhkanlah saudara kami, karuniakan kemenangan untuk mereka, dan hinakanlah kedazaliman penjajah itu...Amin”

Tanah Papua, 30 Desember 2008/ 2 Muharram 1430 H

Rabu, 10 Desember 2008

Selamat Hari Raya

Di sebuah Pagi

Fajar baru akan beranjak terang, hawa sejuk pagi masih manguasai suasana. Ketika lantunan takbir,tahlil dan tahmid saling bersambung dari corong-corong mesjid. Tak ada yang menyita perhatian alam sepagi ini selain suara takbir yang menggetarkan itu. Suaranya memantul-mantul di dinding dan tembok rumah, menyusup di sisi ranting dan celah dedaunan. Menyisir rerumputan yang masih basah oleh embun. Seluruh kolong langit seperti terisi oleh gemuruhnya. Berdesak-desak di atmosfer bumi, berekspansi ke ruang semesta yang luas, terus mengisi ruang galaksi-galaksi yang asing, sampai jauh ke rongga kosmos yang sepi nun di sana, di jarak tahun cahaya.

Kurasakan pagi ini, gemuruh takbir, tahlil, dan tahmid yang menggetarkan itu, rupanya menyusup juga jauh ke dalam, di ruang jiwa, menyalakan suluh di bilik-bilik kesadaran yang dalam. Bergetar lisan menyambut ungkapan-ungkapan indah itu. Menyentuh kehalusan yang membuat luluh.
Pagi-pagi ketika semesta khusyuk menyimak takbir, ada hati yang berembun, sejuk, bening mengalahkan kaca-kaca.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…Laailaha illallah Allahu Akbar…Allahu Akbar Wallillahil Hamdu.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1429 H, buat sahabat-sahabat seperjalanan.

Tanah Papua, November 2008

Kamis, 04 Desember 2008

Kabar Kematian

Jauhilah olehmu maksiat yang membuat wajahmu kehilangan cahaya, dan waktumu kehilangan berkah.

Seperti apa rasa sakit dari sebuah kejatuhan, kegagalan, atau sebut saja ini adalah kekalahan yang telak? Seberat apa rasa sakit dari sebuah kejatuhan, kegagalan atau kekalahan yang mengundang kematian?
Meski kejatuhan tak selalu mematikan, sejatinya kejatuhan harusnya memberikan rasa sakit, karena ia menghadirkan luka.Kecuali bila kejatuhan itu adalah laku yang konsisten yang mengakrabi keseharian, maka boleh jadi resistensi akan rasa sakit adalah sebuah pesan kematian dalam bentuk yang lain.
Lalu apa yang terjadi hari ini, wahai diri?
Semoga aku salah membaca kabar kematian itu dari wajahmu.-nuas-

Papua, akhir Tahun 2008

Jalan Pulang Itu

Keimanan, kejujuran, keihklasan, dan semua komitmen idealis berikutnya adalah pilihan yang tak bias lagi ditawar. Namun, tatkala janji itu dimulai maka bersiaplah akan ujian pada komitmen kita tersebut.
Tidaklah teguh sebuah iman sebelum ia diuji, seperti kejujuran barulah disematkan ketika ia berani berkata tidak pada godaan-godaan yang mencederai komitmennya, sebagaimana keihklasan yang murni karena bertahan untuk tidak memilih jalan kecuali yang disiapkan untuknya. Demikian pula jalan pulang, langkah untuk menyusuri jalan-jalan keimanan, kejujuran, keihklasan, dan jejak tapak spritualisme lainnya, tak jua luput dari ujian.
Jalan pulang adalah kemestian, walaupun...
Jalan pulang itu ternyata meletihkan, ia adalah kelelahan yang tak selesai. Kerja yang tak habis-habis. Karena hidup berjalan pada titian yang penuh tipu daya, panggilan-panggilan syahwat memenuhi kiri kanannya. Jebakan-jebakan pseudosurgawi yang melenakan. Sehari berjalan dijalur yang sejati, esok terjatuh lagi, lusa berbelok lagi, selajutnya lupa pada jalan pulang lagi.
Jalan pulang adalah keharusan, meski...
Jalan pulang itu ternyata menyibukkan, setiap saat harus selalu dikuatkan, senantiasa harus dibela, tak kenal waktu dan tak peduli medan, ia harus selalu dimenangkan dari tarikan-tarikan yang menggodanya.
Jalan pulang itu adalah kerinduan yang begitu sungguh pada keindahan dan ketinggian yang sempurna, sekaligus kesedihan yang meratapi kehinaan dan kekalahan yang paling bawah.
Jalan pulang itu adalah komitmen iman, kejujuran pada janji sendiri, keihlasan yang panjang dan tak berhenti
Jalan pulang itu mengawinkan al wala` dan al bara`
Jalan pulang itu adalah kesabaran untuk terus bertahan.
Jalan pulang itu adalah keberanian untuk mengalahkan ketakutan-ketakutan manusiawi,
meruntuhkan kekuasaan naluri.
Sebab...jalan pulang itu adalah jalan untuk bertahan di titian taubatan nasuha.-nuas-

Papua, November 2008

Stasiun Perjalanan

Perjalanan hari ini tiba lagi di sebuah penghentian, sebuah jeda yang melayangkan ingatan pada kenangan waktu itu. Ketika langkah pertama kali dilesatkan, ada perasaan yang teraduk, jelas dominan mengiringi awal gerak itu. Sampai di titik ini takdir telah menjawab dengan sangat ramah semua harapan dan cemas.
Sebuah penghentian yang layak menjadi tempat menata ulang prasangka terhadap takdir. Sekali lagi tak ada yang terlewatkan, bahwa semua kerja takdir adalah kerja hikmah. Tak ada yang kosong terisi kesiaan. Maka di penghentian ini, tak ada yang lebih layak di upayakan, kecuali men yampaikan rasa syukur dan terus menyempurnakan rasa syukur itu kepada sang pemilik takdir.
Di sebuah penghentian, dengan hati seringan kapas, ku tersenyum kepada takdir. Subhanllah...walhamdulillah.-nuas-

Bandara Domine Eduard Osok Sorong, 031008

Eksekusi Itu

Catatan untuk Eksekusi Mati Amrozi Cs: Perlawanan Belum Berakhir.

Hampir semua perhatian tertuju pada tiga sosok yang disebut-sebut hari-hari ini.
Tiga laki-laki yang tak segan menantang maut. Tiga laki-laki yang pada sorot matanya terpendam keteduhan sekaligus keteguhan yang sungguh-sungguh. Di matanya adakah kita menjadi percaya bahwa merekalah para pelaku bom bali I yang menggentarkan dunia itu?
Maka rasakan apa yang tersimpan di balik dadanya, pada gelegak perasaannya:
”Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala...dibentur di tembok-tembok Palestina...jeritmu wahai bayi-bayi Afganistan...yang memanggil-manggilku tanpa lengan...dieksekusi bom-bom jahannam...milik setan Amerika dan Sekutu...saat ayah bundamu menjalani Ramadhan!
Ini aku, saudaramu...ini aku, datang dengan secuil bombing...kan kubalaskan sakit hatimu...kan kubalaskan darah-darahmu...darah dengan darah...nyawa dengan nyawa...qishash!”
Inilah sebuah serpihan hati yang turut berdarah dari salah satu laki-laki itu ( Imam Samudra) meneteskan duka dan amarah lewat pekiknya di atas. Kemudian tahulah kita kenapa ada bom yang bicara, mengapa harus ada darah yang mawarnai tanah. Ini hanyalah reaksi atas sebuah aksi, akibat atas sebuah sebab yang mendahului, hanyalah sebentuk perlawanan terhadap kedzaliman global yang bernama Amerika dan Sekutunya. Tentulah tak adil hanya menuding dan menghakimi Amrozi Cs tanpa mengurai tuntas pokok masalahya. Bahwa masalah bom Bali hanyalah ledakan dahsyat di Legian sana, ini tentu keliru. Karena ledakan yang terjadi di Bali atau tempat lain hanyalah rentetan bom waktu yang ditanam dan dilempar Amerika dan sekutunya di Palestina, Afganistan, Irak, atau ditempat lain, Amrozi Cs hanya ”memindahkan” bomnya ke Indonesia dan luluh lantaklah Bali. Bila Penjajah itu melempar dunia Islam dengan bongkahan batu, Amrozi Cs tak lebih hanya membalasnya dengan secuil kerikil. Dan karena secuil kerikil itu, mereka harus di tembak mati dan diberi pangkat teroris?
Terlepas dari benar atau salah jalan perlawanan yang ditempuh olehnya, setidaknya mereka telah menitipkan keberanian kepada sekian jiwa anak-anak muda di negeri ini, untuk terus melawan dan berkata tidak pada tirani. Tubuh-tubuh itu tertembus peluru, namun semagatnya tak pernah mati, ia akan terus hidup untuk menyalakan perlawanan hingga para tirani itu tak kan pernah tidur nyenyak di singgasananya.
Mereka telah mengajarkan cara mati yang memukau, cara mati dengan tersenyum, cara mati yang menggenggam keteguhan sampai diperbatasan.
Dan dengarkanlah kembali kata-katanya,
”aku hanyalah seorang pemuda tua yang tengah belajar arti sebuah derita dan kesakitan, makna sebuah luka dan perlawanan, maksud sebuah keteguhan dan kesabaran...aku kuliah dari remaja-remaja itu, yang tumbuh dalam kampus bernama Universitas darah `Palestina. ”Laboratorium Tarbiyah” tempat mereka bereksperimen dalam kesamaptaan iman, berhasil mengubah batu menjadi mitraliur,mengubah batu menjadi peluru"
Jadi sejatinya hegemoni dan kezaliman itulah yang melahirkan Amrozi dan kawan-kawannya. Selama Palestina masih terjajah, Afganistan tetap terzolimi, Irak tak henti berdarah, dan dunia Islam terus terampas kemerdekaanya, maka sungguh Amrozi Tak pernah mati, karena akan bangkit Amrozi Cs yang lain, yang lebih berani, lebih hebat, dan lebih tangguh. Karena perlawanan belum dan tak kan pernah berakhir. Sungguh, perlawanan itu niscaya. -nuas-

Papua, November2008

Catatan Perjalanan; Serpihan Kenangan di Batu Merah

Berdiri aku malam itu, di depan pusara para syuhada, di bawah siram sinar rembulan. Malam yang hening dibalut wangi kembang semerbak. Di atas bukit di sebuah situs yang menjadi saksi atas sebuah peristiwa besar yang diberkahi. Tanah Ambon terpilih, sebagai bumi jihad, orang-orangnya terpilih sebagai tentara-tentara Allah yang merindukan syahid.
Berdiri aku malam itu, takzim penuh hormat, pada mereka yang telah terpilih yang sedang beristirahat tenang di balik pusara. Mendengarkan seoarang kawan bernostalgia dengan hari-hari yang diberkahi. Saat malaikat-malaikat melesat-lesat hadir menjemput jiwa-jiwa perindu. Saat takbir membakar semangat dan menyulut kerinduan lalu tak bersisa lagi rasa takut pada kematian. Saat karomah-karomah menakjubkan hadir di bumi jihad itu.
Setelah malam itu, aku berkali lagi, datang di depan pusara para syuhada, bersama teman yang sama kembali mengulang nostalgia seolah tak habis-habis, tentang heroisme, tentang senjata, tentang luka dan darah. Tentang kematian yang indah.
Sebuah serpihan perjalanan yang amat berkesan, aku mengenangnya kembali hari ini, walau tak bersama teman, dan tak di depan pusara para syuhada lagi. Masih terasa getaran yang sama, gejolak yang sama, kerinduan yang sama, seperti saat takzim didepan pusara dan berdoa semoga Allah menjemput kematian ini juga dengan syahid. Amin...
-nuas-



Aimas-Sorong, November 2008

Sebuah Catatan Kecil di Hari Pahlawan

Memperingati Hari Pahlawan: Siapakah Pahlawan?

Selalu ada ruang untuk mencipta kerja-kerja kepahlawanan, Sebagaimana lembar sejarah
selalu menyisakan tempat untuk ditorehkan cerita haru biru dan heroikme perjuangan.
Ruang kerja bagi pahlawan adalah setiap jengkal di mana ia memijak tanah dan menjunjung langit. Ruang sejarah untuknya adalah seluruh jatah umur yang disiapkan baginnya. Di ruang itulah pada dimensi tempat dan waktunya ia mencipta keabadiaanya. Melahirkan karya-karya melegenda yang melampaui umurnya bahkan menembus batas generasi. Di saat itu ia melegenda, ia menyejarah, saat ia menuntaskan karya kepahlawanan.

Engkaulah Pahlawan
Tak perlu menanti musim revolusi sebagai latar perjuangan untuk menjadi pahlawan- meski tak bisa dipungkiri saat-saat pertarungan fisik memang adalah musim yang subur melahirkan para pahlawan- Tiap potongan sejarah punya pahlawannya, tiap musim ada bintangnya.
Begitu juga saat ini, kebutuhan peradaban akan pahlawan tak pernah surut. Di setiap bidang di segala lini kehidupan. Karena sang pahlawan adalah sosok yang menjaga dan memelihara keberlangsungan sebuah nafas peradaban.
Maka engkaulah pahlawan, bila engkau adalah guru atau ilmuwan, mendidik sepenuh hati, membangun anak bangsa dengan segenap dedikasi, jujur dalam hati untuk mengabdi, layaklah engkau menjadi pahlawan. Bila engkau seorang dokter atau paramedis, menolong sesama dengan penuh kasih, mengurangi penderitaan atas nama kemanusiaan, juga engkaulah pahlawan. Bila engkau adalah petani, nelayan, buruh ataukah sudagar, yang bangun pagi-pagi dengan penuh syukur, bekerja tak kenal lelah, jujur sepanjang hari, maka jadilah pula engkau pahlawan. Terlebih bila engkau adalah aparat atau politisi yang bekerja mengurusi rakyat, bersungguh-sungguh melawan ketidak jujuran, ketidakadilan, pembodohan, dan pemiskinan. Maka sungguh layaklah pula engkau menjadi pahlawan.

Jangan Sok Pahlawan
Tak perlu ada risau bagi krisis yang terus melanda bangsa ini, bukankah takdir sejarah bangsa-bangsa besar dibangun di atas perjuangan dan kesusahan. Namun yang perlu kita cemaskan bila negeri ini dilanda paceklik pahlawan. Sebab keruntuhan sebuah bangsa tak berjarak dengan kepunahan pahlawannya.
Dan tentu wajar bila kita risau, sebab hari ini justru berhamburan di negeri ini sosok yang Sok Pahlawan, berteriak mengatas namakan rakyat untuk membuncitkan perut sendiri. Mereka pahlawan kesiangan yang kurang ajar dan sepantasnya dihajar dan ditembak mati di tengah lapangan kota.

Lalu bagaimanakah kita, engkau dan aku?. Inilah lembaran jaman kita, di sinilah ruang karya kita untuk menyejarah. Bila tak kau jawab panggilan kepahlawanan itu, maka aku akan tetap menjawabnya, meski sendirian. -nuas-

Sorong Papua Barat, November 2008

I`tiqaf

Seolah kusaksikan malam ini, sejuta doa tersambung ke langit. Sejuta harap melesat berpendar di antara bintang-bintang, menembus kegelapan, riuh di antara kesenyapan malam. Doa yang dihantar dengan gemuruh isak tangis, harap dan cemas berpilin laksana pita yang terjulur menggapai-gapai ketinggian. Khalwat yang khusyuk, menentramkan ekspresi jiwa-jiwa.
Sepertiga malam terakhir, di langit bumi, Dzat yang Maha Agung menyambut doa-doa yang terpilin, mendekapnya dalam Ridho-Nya. Di sepertiga malam terakhir, sejuta pengharapan diijabah dengan tuntas. Rabb berkata ” Berdoalah kepada-Ku, maka akan Kukabulkan”


Sepertiga malam terakhir, Beranda Masjid Al Akbar Sorong
28 Ramadhan 1429 H

Surat Untukmu

Di tepian Selat Sele Kasim Marine Terminal (KMT)
19 Ramadhan 1429/19 September 2008

Dengan segala hormat
Kusampaikan salam atasmu, juga kerinduan yang tak pernah layu. Dari negeri yang jauh ku tulis surat ini agar selesai gelisah yang mengganggu. Tapi mampukah kalimat ini merayu resah agar segera berlalu.
Kadang aku tertegun manatap tanah yang ku pijak, tanah yang menyadarkan diri, bahwa kini telah jauh perjalanan, perjalanan yang membuatku berjarak darimu, sebuah jarak yang jauh sungguh.
Aku tak juga tahu di mana berhenti langkah ini, atau kapan ia berhenti, namun sungguh ku berharap takdir kembali mempertemukan kita, di sebuah perjamuan mulia, liqoat yang diliputi para malaikat. Tempat dialog jiwa kita berlangsung sungguh-sungguh, arus batin kita menderas bersama, ucapan-ucapan mulia terlontar membesarkan semangat.
Sendiri aku mengenang di sini, di tepian laut yang tenang setelah kerja yang melelahkan. Saat itu, di tepi danau yang indah di kota kita, di bawah naungan pohon Angsana, pada sebuah senja yang cerah, disempurnakan dengan kalimat-kalimat yang indah mengantar ifthor bersama. Ataukah ketika perjalanan yang penuh semangat di iring nasyid perjuangan menjawab panggilan jiwa untuk sebuah misi kemuliaan. Tentu juga kau juga masih ingat waktu kita berkeliling kota, berbincang di bawah menara, tentang cinta dan cita-cita, atau di tepian pantai memandang cakrawala yang indah. Dan tak mungkin ku lupa saat engkau pamit hendak pergi, ku kuatkan diri tersenyum walau hati ini menangis dan ketika saatnya aku berangkat ku minta sebuah nasihat yang akan kujadikan kekuatan, kaupun berpesan dengan dalam ” bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berpijak”.
Tak akan kulupa saat-saat bersamamu, karena kenangan itu seperti obat yang menawarkan rindu atau seperti nyala api yang menyuluh jalan, dan panasnya membakar semangat agar ia terus bergelora.
Dan kutulis surat ini, karena ku tak tahu, apakah takdir akan memenuhi harapan ini untuk bersua lagi denganmu suatu hari kelak. Bila kau membacanya, anggap saja kita sedang bercengkrama dalam dialog dari hati ke hati. Agar kau bisa membaca arus batinku, bahwa sungguh aku mencintaimu karena Allah.
Semoga Allah menjagamu selalu.-nuas-

*Untuk sahabat-sahabat yang luar biasa.
Tanah Papua, 2008
.

Kamis, 14 Agustus 2008

Terimaksih

Kubuat tulisan ini disaat-saat terakhir menjelang meninggalkan sebuah tanah yang menadah harapan, kesah, dan rela menerima kerja yang tak seberapa. Ada banyak pelajaran yang patut direnungkan, pengalaman yang tak terlupakan, kekaguman yang tak kunjung selesai, perasaan yang telah menemukan ruang tumbuhnya. Persahabatan yang luar biasa, sungguh ku menjadi sangat inkar bila tak mensyukuri ini semua.
Hari-hari terasa begitu cepat berpacu, dan akhirnya perjalanan harus dilanjutkan. Meskipun terasa berat namun langkah mesti dilesatkan kembali...menuju ranah pengabdian yang lain.
maka...selamat jalan kenangan, selamat datang kemenangan. -nuas-

Ambon, 14 Agustus 2008

Ku ucapkan terimakasih kepada:
- Sahabat- Sahabat di Ambon; Bang Kedu , Bang Abdullah, Bang Mat, Bang Wahid, Bang Yusran, Abu Syukur, Abu Rijal. kalian semua sungguh luar biasa, kutemukan makna persahabatan yang tak tertandingi.
- Mitra di Klinik MER-C; Ona, semoga jumpa lagi.
- Kawan-kawan di RS Al Fatah; Terimakasih atas ketulusannya.
- Tetangga yang baik hati.

Minggu, 03 Agustus 2008

Terus Berjuang

Hidup haruslah berani meminang badai dan petir. Adakah yang lebih tegas dari kalimat ini sebagai metafora bahwa hidup sejatinya tak main-main?! Hidup tak memberikan banyak opsi, bila kita tak memilih sebagai pemenang maka bersiaplah disebut dengan predikat pecundang.
Hadir kita hanyalah di kisaran pasang surut antara dua sebutan ini. Dari sini, maka hidup juga berarti kelelahan. Karena setiap satuan waktu hidup ini adalah pertarungan dan pertaruhan.
Ini jugalah yang membuat hidup tak ada pilihan untuk menjadi pengecut. Berlari dari medan untuk sejenak mengambil jarak dengan kerja dan perjuangan. Ia terlanjur meminta kita menjadi algojo-algojo untuk memancung kekalahan.
Lalu, aku telah letih dan mulai jenuh berjuang...lupakanlah jauh-jauh kalimat ini!!! -nuas-

Batu Merah, Menjemput Ramadhan. Agustus 2008

Senin, 21 Juli 2008

Melesat Lagi


Bismillah...hari ini ingin aku bertutur lagi, bukan tentang lelaki yang ku tuliskan tempo hari. Kini tentang diri. Maka kuberanikan untuk memulai, dengan nama Allah, semoga ini menjadi pembuka yang baik.

Terlalu lama bila harus menunggu musim depan untuk menghitung diri. Amat jauh bila harus menanti sekian langkah lagi untuk instrokpeksi. Sementara esok pagi tak pernah berjanji untuk kembali. Bahkan helaan nafas berikutnya apakah masih bersisa lagi?!

Telah panjang berlalu perjalanan ini, musim telah bertukar, kawan sejalan pun telah lama berpencar, wajah tanah telah pudar, dan sebutan tak pantas lagi belia.
Namun ada yang tak berpindah sejak awal perjalanan dimulai. Langkah beranjak namun tak berpindah tempat. sebuah anomali dalam logika gerak. Adakah ini seperti bani israil yang terperangkap di padang Tih empat puluh tahun lamanya berputar-putar tak menemukan jalan keluar karena mereka ingkar? Atau mungkin ini seperti yang dilansir Al-Qur`an " Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang mengurai benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali..." (QS, 16 : 92)

Di titik nol kilometer rupanya diri masih berdiri. Dan kini tetap sepi, sebab kerja-kerja yang menjulang kemarin punah terbabat tsunami kekalahan diri. Karya yang tertata rapi juga lantak terguncang gempa inkonsistensi diri.

Tapi apa peduliku?!
Kekalahan telah lelah menghajarku, pun kegagalan telah letih dan memilih berdamai membimbingku.
Bukankah tak ada yang abadi di dunia ini? Tidak kekalahan dan tak juga kegagalan
Maka... aku melesat kembali... Bismillah.-nuas-

"Sebab sesungguhnya berkarya dan memberi itu adalah menapaki tangga menuju langit ketinggian, dan hambatan terbesar yang akan menyurutkan langkah kita adalah daya tarik dunia" ( Anis Matta)
Ambon, saat berbenah kembali Juli 2008

Sabtu, 19 Juli 2008

Lelaki Cahaya


Beranjak memang selalu menyisakan sesak, setidaknya perih di ulu hati. Kerinduan telah menyusup bahkan ketika langkah belum jua dimulai. Akan hari-hari yang selalu dibersamai, pada kenangan yang semuanya tiba-tiba terasa indah. Pada tarikan-tarikan yang merayu agar tak beranjak.
Namun inilah gerak yang menjadi kemestian bagi sebuah cita-cita. Diam itu menggoda, tak ada yang mengganggu, tak ada angin, tak ada petir, tak ada kejutan dan ketegangan di sini. semua serba tenang, konstan, relatif aman-aman saja. Namun diam adalah musuh hidup, sahabat kematian, dan bahayanya melenakan. Perasaan-perasaan ini tak selalu mesti dipercayai.
Maka beranjaklah ia, lelaki yang telah berazzam untuk sebuah kemuliaan. Sedih adalah energi yang akan melesatkannya semakin jauh. Kerinduan adalah puisi yang terpatri di sudut jiwanya. Godaan hanyalah gurauan angin lalu.
Kerja telah dimulai, tak ada lagi duka dan keluh, punah sudah resah yang menyiksa. Akan kau temukan di tatap matanya sinar harapan dan kesungguhan. Tunduk pandangnya, senda guraunya, diam dan ucapnya tak lain hanyalah indikasi kemuliaan.
Ia tak lagi terpesona pada bunga, karena harapnya telah menggantung ke surga. Percuma saja engkau tawarkan dunia karena ia telah sibuk dengan saum panjangnya dan hanya menanti saat berbuka.
Cintanya telah ia persembahkan bagi semesta. Air matanya adalah linangan bersimbah di sujud dan khalwatnya. Dzikir adalah gerak hati dan basah lisannya, pada duduk dan bangkitnya. Doanya melesat-lesat tersambung mengapai langit. Aksi telah usai saat yang lain belum selesai dengan debat kusirnya.
Tak ada lagi yang mampu mencegahnya untuk terus bergerak. Tidaklah letih tak juga resiko. Kini ia telah menjelma menjadi pembunuh kekalahan dan kepunahan.
Bila bulan tak purnama, malam tetap benderang...sungguh diwajahhnya ada cahaya.
Lelaki itu...kurindu.-nuas-
Ambon-Empat bulan perjalanan-. Juli 2008

Rabu, 16 Juli 2008

Ingatkan Saya

Ingatkan...kawan
Bukan aku letih dan
ingin berdiam diri
aku hanya lupa
bahwa aku punya cita-cita
Ingatkan...sayang
Bukan aku benci dan
kehilangan nurani
aku memang sering lupa
kalau aku punya cinta
Tunjuki diri...duhai Rabb
aku memang sering tersesat dan
belum kenal pada diri
Namun kumohon
jangan biarkan aku lupa jalan pulang
ke rumah-Mu.
Hidup rupanya adalah perjuangan melawan lupa, lupa pada cita-cita, lupa pada cinta, lupa pada diri bahkan lupa pada Rabb yang mencipta. Bahwa sejatinya kita adalah al insan yang bermakna lupa atau khilaf, maka itu adalah karakter yang melekat pada diri, adakah kita dapat berlari dari lupa? Di sinilah ujiannya, tarik-ulurnya, suka dan duka sebuah perjalanan dalam hidup. Maka kuingatkan pada diri untuk tak mengalah di lain kali. Cukuplah hari ini...tak esok hari.-nuas-
Ambon, Paruh Juli 2008

Jumat, 04 Juli 2008

Lelaki di Bibir Teluk


Lelaki itu diam, berdiri bersedekap, tenang ia memandang lautan, dari bibir teluk. Tak berbilang berapa sering ia menjalani rutinitasnya seperti ini. Hampir setiap hari seperti ritual yang khusyuk, larut dalam kontemplasi yang sakral. Air mukanya tenang, sehening bukit di seberang. Sesekali ia mendesah, seakan ingin melepas semua udara yang terperangkap di rongga alveolinya. Tak jarang ia tersenyum sendiri, senyuman yang amat indah, pemandangan sore pun seolah mengalah. Ia menekuni riak teluk, menyapu luasnya hamparan kilau air lautan dengan tatapan lurus kedepan, seperti sedang menanti sesuatu. Ia juga sangat senang menyaksikan parade burung yang pulang entah dari mana, juga elang laut yang berputar-putar dengan mata tajam mengawas buruannya. Saat langit perlahan gelap, dan surya sempurna tenggelam ia pun beranjak, menjawab seruan azan.

Tak seperti kemarin, saat ia kembali datang, duduk merunduk, di beton pemecah ombak, dari raut wajahnya ia sedang memendam sendu, tak ada senyuman indah saat itu, sambil menatap laut dalam-dalam seakan menembus sampai kedasar, dan mencurahkan rasanya pada ikan-ikan dan rerumput laut. Desahannya berat, duduk ia semakin merunduk, ketika tetes titik-titik bening dari sudut matanya ia biarkan jatuh satu-satu, menyatu dengan laut, agar sedihnya larut terpendam samudra.

Hari ini pagi-pagi, tak lagi tersisa kabut di wajahnya, matanya berbinar, rautnya sumringah. Berdiri ia kembali di bibir teluk, membiarkan tubuhnya tersiram cahaya putih kemilau pagi. senyumnya lebih indah, desahnya lebih ringan. Wajahnya seperti turut bercahaya. Ada yang tak biasa hari ini, tak hanya diam, kini ia bersuara, berkata tanpa ragu. 'Aku akan pulang, melesat menuju cahaya'. -nuas-
Sebuah pagi di ambon, Juli 2008

* Ada komitmen dengan orang lain, dengan diri sendiri, dengan Tuhan, untuk sebuah perubahan. dan itu harus dimulai.

Rabu, 25 Juni 2008

Selamat jalan


Sebuah pekerjaan telah kau selesaikan...kawan
Sebuah perjalanan yang terhenti tiba-tiba,
namun tak sia-sia
Tak ada himne hening cipta dan bendera setengah tiang
yang digerek perlahan
Meski sebuah pengabdian telah diteguhkan
Pada keberanian, bagi ketulusan, untuk kemanusiaan
engkau berkhidmat
Kini janji telah tunai
lunas dengan darah arteri sendiri
Kau telah beri arti
pada negeri.
Selamat jalan...kawan.
Ambon, Juni 2008


* Untuk Seorang rekan sejawat (dr. Muh Haris-FK Unair) yang telah berpulang dalam tugas PTT di papua, pada sebuah kecelakaan lalu-lintas saat sedang bertugas ke dinkes Jaya Pura. Doa kami teriring untukmu. Terimakasih atas pengabdian dan keteladananmu.

Selasa, 24 Juni 2008

Salam Sejawat

"Profesi hanyalah subordinat dari kemanusiaan kita, ia hanyalah pakaian yang tak boleh mereduksi predikat kita sebagai manusia. Profesi dijadikan sebagai alat untuk mengabdi dan mempertinggi nilai kemanusiaan"

Sekali memutuskan untuk menjadi seorang dokter maka itu adalah "proklamasi" bahwa kita telah mewakafkan diri untuk melayani. Bahkan jauh saat kita menjejakkan kaki untuk kali yang pertama di rumah tempat kita belajar bersama itu, itu adalah permakluman bahwa inilah jalan yang telah kita pilih.

Diri kita bukan milik kita lagi sepenuhnya. Waktu, istirahat, kepentingan, kebebasan, kita akan senantiasa beririsan dengan orang-orang di luar kita. Mereka telah berhak atas kita, dan adalah kewajiban kita atas mereka.

Menjadi dokter bukanlah sekedar mengandalkan intelektualitas semata, lebih dari itu, dokter adalah sebuah predikat di mana karakter intelektual, idealis, humanis, bersatu padu pada satu jiwa dalam sinergi yang apik.

Maka sejatinya dokter adalah sebuah predikat dengan makna yang sepadan dengan memberi, berbagi, melayani, berbakti, berinfak, bahkan berjihad. Untuk itu dibutuhkan lurusnya niat dan keikhlasan agar ia telak sempurna.-nuas-
Ambon, 24 juni 2008

* Selamat untuk sahabat;
- dr Ahmad 'iccang' Ikhsan 00 ( Bulukumba- Medica)
- dr Lukmansyah 'igor' 01 ( Gowa- Medica)
- dr Yusri DJ ( Maros- Medica)
Yang telah di Judisium pada tanggal 23 Juni 2008. Gelora pantai, lembah dan gunung negeri ini menanti pengabdian kalian. Salam sejawat.

Minggu, 22 Juni 2008

Rumah Cinta


Silahkan masuk...
Inilah rumah cinta
Kubangun dengan sepenuh jiwa
Tiangnya adalah kejujuran
Dindingnya kaca bening kesetiaan
Atapnya adalah kepercayaan
Terbuat lantainya dari pualam sajadah

Tataplah tamannya
Yang berpagar kasih sayang
Tumbuh di dalamnya
kembang rupa warna
yang kutanam dari senyummu yang paling mawar

Inilah rumah bersahaja
Kubangun di atas bukit terindah
Dibelai oleh angin dan dimanja dengan cahaya
Inilah rumah kita
Sebuah rumah,
dengan pintu menghadap Jannah.
-nuas-
Ambon, 22 Juni 2008
*Untuk sahabat Eva di Makassar, yang baru saja memasuki "rumah barunya", rumah bahagia yang di ridhoi Allah. Barakallahu laka wabaraka alaika wajamaa bainakuma fi khair

Janji Anak-anak


Pagi terasa letih sepulang dari rumah sakit hari ini. Lelah menelusuri rutinitas yang menyita energi fisik dan psikis. dari kursi depan sebuah angkutan umum, saya menikmati suasana pagi dengan panorama yang masih sama seperti kemarin-kemarin.
Namun seketika letih seolah punah, didominasi efuoria yang tiba-tiba, mungkin sontak isi kepala ini tergenang endorfin yang memacu semangat dan kegembiraan saya hari ini.
Anak kecil dengan seragam sekolah, berlari menantang tanjakan, sekilas tertangkap wajahnya, jelas tak ada beban, hanya gembira dan ceria di sana. Khas ekspresi anak-anak.
Ini dia yang meneginjeksikan semangat yang tiba-tiba itu. Menularkan riangnya sepagi ini. Saya tidak pernah bisa membohongi perasaan setiap kali menemui mereka. Selalu buncah perasaan bahagia manatapnya. Bukan hanya oleh wajah polosnya yang menggemaskan, mata beningnya yang hening, atau lincahnya mereka memainkan imajinasinya yang berloncatan, tapi lebih dari itu, karena anak-anak itu selalu memberikan janji kebaikan, janji masa depan yang lebih baik. Lebih baik dari kemarin, lebih baik dari kita hari ini. itulah sebabnya... -nuas-

Ambon, Juni 2008

Kelana


Haruskah ke mana lagi kulesatkan kelana,
kutanya angin bilamana ada kabar baik tentang jalan yang menjanjikan.
Adakah petunjuk pada bintang akan arah ke tujuan?

Batu- batu membisu, gunung-gunung pun membeku,
cahaya tak lagi menyala, padam karena kecewa.
Waktu beringsut senja sementara kesadaran masih teramat belia.
Kepada apa aku bersandar, bila mata dan hati juga berpaling.
Hanya satu yang membuatku bertahan...harapan.
-nuas-
Ambon, Juni 2008

Selasa, 17 Juni 2008

Masjid Raya


Ada yang berdesir bersama aliran darah ketika kali pertama melihat Masjid Al Fatah Ambon. Tempat yang telah menjadi saksi atas sebuah tragedi besar maha dahsyat (Rusuh ambon 1999-2004). Seperti juga suatu pagi saat pertama kali hadir di halaman Masjid Raya Baiturrahman Aceh, spontan getar seperti menjalar seluruh tubuh. Juga sebuah sejarah besar telah tercatat bersama keagungan masjid besar ini.
Bukan karena kekokohan bangunannya atau keanggunan arsitekturnya yang membuat perasaan ini berdesir halus, atau hawa mistik yang sakral. Bukan itu, seperti aura keagungan menghembus menerpa mencipta kekaguman.
tak pernah terlintas sebelumnya, suatu saat saya akan memasuki dua masjid ini. sampai akhirnya, hari ini saya tersungkur juga sujud di alasnya (al fatah). Seperti juga hari itu, sebuah pagi saat takbir berahutan dalam jamuan shalat idul adha, tengadah tangan hadir bersama ribuan jamaah Baiturrahman, memohon dengan khusyuk.
Memang tak pernah terduga kemana berikutnya perjalanan ini berlabuh. Besar harapan suatu saat nanti, saya juga akan menyempurnakan ruku dan sujud di Masid Al Aqsha Palestina, kiblat pertama kaum muslimin. Mesjid nabawi Madinah, titik nol kilometer perjuangan Rasulullah saw. Dan di Masjid Haram Mekkah. Baitullah yang di jaga oleh Allah. Semoga...-nuas-

Masjid Al Fatah Ambon, 5 April 2008

Senin, 16 Juni 2008

Kesetiaan


Diantara yang menguatkan ikatan adalah kesetiaan. Kesetiaan adalah hadiah terbaik untuk persaudaraan, persahabatan, dan atau kebersamaan. Kesetiaan semakna dengan memberi, sewarna dengan melayani.
Maka lihatlah matahari tak ingin mengkhianati siang, tak pernah ingkar janji. Datang tepat waktu, pergi tak terburu-buru. Hadirnya amat berharga, karena siang berarti dengan sinarnya. Selalu memberi, tak ingin di beri. Selalu setia menghidupkan siang.
Juga sang rembulan, pernahkah ia meninggalkan malam? tidak, bahkan sekalipun. Bila mana bulan tak muncul karena lagi tertutup awan, bukan ia sedang ingkar janji, hanya memberi waktu pada sang awan untuk menyempurnakan kerjanya. hadirnya selalu indah karena ia memberi cahaya.
Matahari dan rembulan hanyalah sekelumit cerita kecil tentang kesetiaan. Kasetiaan yang tak pernah luntur. Tak terbayangkan bila matahari berkhianat atau rembulan tak lagi setia. Sebuah kabar buruk bagi kehidupan dan peradaban.
Begitu juga persaudaraan, persahabatan dan kebersamaan disimpul dengan kesetiaan, yang membuatnya menjadi kuat, menjadi bermakna, dan menjadi indah. Kesetiaan yang berguru pada matahari dan rembulan. Tentang sebuah kesetiaan tanpa syarat. -nuas-
Ambon, Juni 2008

Saat terkenang ; bang phiank, iccang, bang gani. Saya banyak berguru padamu sahabat.

Rabu, 11 Juni 2008

Hampa

"






















..."
Hampa itu resah


hampa itu menyiksa.-nuas-
Ambon, Juni 2008

Minggu, 08 Juni 2008

Sebuah Catatan Perjalanan


Semalam di Pulau Tiga

Timur adalah dunia yang eksotik, tak ada yang ingin membantah hal itu. Dan itulah daya tariknya. Saya sekali lagi membuktikan aksioma ini. Perjalanan ke Pulau Tiga, pulau kecil di seberang jazirah Leihitu Ambon.

Siang yang menegangkan.
Laut memang tak pernah terduga, sungguh benar kalimat ini, dari tepiannya riak ombaknya damai sangat bersahaja, namun siang itu, ketika perahu kecil kami belum juga begitu jauh meninggalkan jazirah, mulailah kami berhadapan dengan arus laut yang kuat, bertambah jauh, ombak semakin bergulung-gulung. Perahu kecil kami, seumpama busa ringan saja yang terhempas, air melompat melewati dinding perahu, baju basah, celana basah, rambut basah...dan lisan kami pun basah, tidak dengan air laut tapi oleh dzikrullah. Allahu akbar...lirih terucap hampir tak terdengar kata itu. Perawat yang juga satu-satunya perempuan dalam tim kami hari itu, telah pucat pasi, diam tunduk ingin menangis atau mungkin sudah menangis.- Sebenarnya perjalanan kami ini adalah sebuah ekspedisi untuk aksi sosial bantuan kesehatan yang tergabung dalam Tim MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) - . Perahu kecil kami terus berguncang, terangkat ke puncak gelombang lalu terhempas ke dasar, dan bersiap lagi dihentam gulungan berikutnya. Allah...sungguh kami menjadi sangat jujur disaat-saat seperti ini, jujur mengakui kebesaran-Mu. Kami sangat kecil dan tak berdaya. Di Tengah laut seperti ini, hanya ada biru, di mana-mana biru, di depan terlihat biru, di samping juga biru bergulung-gulung, jangan menengok ke bawah yang ada hanya biru yang mencekam, lalu ke belakang masih biru lagi, apalagi ke atas, jelas biru yang tak habis-habis. Oh..sungguh sunyi, hanya biru yang luas, biru yang ganas. Allah...saya berpegang kuat di palang perahu, walau saya tahu ini sungguh tak cukup kuat. Waktu terasa berdetak amat lambat, jauh lebih cepat pacu jantung ini. Di luar arus laut mengalir cepat, namun di dalam pun adrenalin mengalir deras. Akhirnya...sampai di tepian pesisir pulau kami tahu sebuah pelajaran berharga baru saja selesai. Kami mengatur nafas perlahan dan tersenyum...segala puji bagi Allah.

Sore yang mengagumkan
Setelah menyelesaikan sebuah rangkaian pelayanan kesehatan siang itu, sorenya adalah saat turun ke pantai, dengan pasir putih nan halus, bersih. Transparan airnya layaknya kaca-kaca bening, terlihat batu-batu karang yang putih seolah bergoyang-goyang. Senja itu, saat mentari perlahan-lahan turun ke ufuk, dan langit berlukis jingga, Tuhan menghadiahkan kami sebuah lengkungan pelangi yang menbingkai pulau Ambon di kejauhan. Sempurna tak bercela. Sungguh mengagumkan. Terimakasih ya Allah, ajari kami untuk terus bersyukur.

Malam yang bercahaya
Malam di sini tak seprti malam di Ambon, atau malam di Makassar, atau di kota-kota lain. Tak ada hiruk pikuk, tak ada keramaian. Tenang, bersahaja, damai ditemani suara ombak dan desau angin, selebihnya diam.
Malam itu kami turun ke pantai, sebagian teman memancing, dan mendapat ikan hiu bintang, ada yang menyalakan api. Saya sendiri berdiri memandang ke laut lepas, mendongak ke langit bebas. Ada beribu cahaya, berjuta malah...bukan, bahkan bermilyar atau lebih dari itu semua. Di langit bertabur cahaya bintang. Di pantai ombak menghempas-hempas cahaya gemerlap plankton-plankton tak berbilang jumlahnya, berkilauan, menarik perhatian. sungguh mengagumkan. Sekali lagi kami tak bisa menahan diri untuk memuji...Subhanallah.

Menjelang subuh yang hening
Sebelum subuh kami sudah hadir lagi di pantai, duduk di teras mesjid berhadap-hadapan dengan laut. Angin segar menampar-nampar wajah kami membawa aroma samudra. Hening...di sini sempurna hening, tak ada suara tiruan dan imitasi. sempurna milik alam, hanya ombak yang memecah kesunyian, namun tak merusak harmoninya justru menambah sakralnya kontemplasi alam. Sungguh ombak itu bertasbih, pasir itu memuji, angin yang bergerak itu, juga dedaunan, semua... semesta bertasbih. Adakah kita mengerti bahasanya?

Pagi yang menyenangkan
Pagi merekah, saat matahari jingga kemerahan menjenguk pulau pagi itu. Semerah ikan-ikan yang dibawa pulang nelayan pulau baru tiba dari melaut. Pagi itu kami mendapat hadiah ikan merah yang segar. Wah...pagi-pagi sudah sapat rezki. Terima kasih pak...terimakasih ya Allah.-nuas-
Ambon, awal Juni 2008

Sabtu, 07 Juni 2008

Duh



Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat kepada Allah, dan kepada kebenaran yang telah diturunkan (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al kitab kepadanya, lalu kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik .
(Al Quran)

Duh
aku...malu
...resah
...takut

Tuhan
kupinta maaf-Mu
sungguh
...ku ingin pulang.
-nuas-
Ambon, 7 juni 2008

Jumat, 06 Juni 2008

SiNeRGi

Sinergi

Jadilah engkau dermaga untukku
biar kulepas sauh
dan kutambatkan ikatan
di sisimu

Jadilah engkau pagar bagiku
agar kutumbuhkan
cinta dan keindahan
di tamanmu

Jadilah engkau puisi buatku
supaya kupanjatkan
sebagai doa
di pagi dan petangmu.
-nuas-


Ambon, Awal Juni 2008

* Untuk abangku Gani dan sang istri di tempat pengabdian, Bima. Semoga cinta kalian terjalin sampai ke Jannah.

Kamis, 05 Juni 2008

Sparing Partner


Kehidupan lebih mirip pelangi dari pada sekedar sebuah foto hitam putih, tidak semua warna akan kita senangi namun tentu ada warna yang kita cintai. Begitulah hidup digambarkan oleh seorang seniman kata-kata. Bahwa hidup ini penuh warna, beragam corak dan motif, majemuk akan karakter.

Demikian Tuhan telah menciptakan dengan hukum-Nya. Hukum alam berkehendak seperti itu, bahkan ada ambivalensi-ambivalensi yang mutlak berseberangan, berdiri di kutub ekstrem yang berlawanan. ada positif ada negatif, ada hitam ada putih, baik dan buruk, panas dan dingin, kasar dan halus, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dan kita sangat paham bahwa manusia juga hadir dengan karakter personal yang berbeda-beda. Tak semua manusia baik, ada banyak yang jahat. Ada tipe penyayang ada juga kejam. Ada yang suka mencinta namun tak jarang yang hobby membenci. Lalu dimanakah kita?
Sebagai pengagum karya Tuhan dan penikmat keindahan, selayaknya kita menghargai ambivalensi-ambivalensi itu sebagai anasir-anasir kehidupan yang dihadirkan dengan sebuah maksud dan tujuan.

Pada proses pembelajaran yang terus-menerus dalam rangka penyempurnaan kualitas diri, kita tak hanya perlu bersahabat dengan manusia dengan karakter-karakter positiv dan penuh cinta. Bahkan kita patut berterimakasih dengan orang-orang di sekeliling kita yang berkarakter negatif atau `berpenyakit jiwa`. Pada mereka yang sepenuh hati memendam dengki dan benci kepada kita. Karena dialah sparing partner yang sebenarnya untuk terus melangkah memperbaiki kualitas diri kita;
  • Sebab mereka akan berusaha semampu daya mencari kesalahan-kesalahan kita, yang darinya kita menemukan kekurangan diri untuk diperbaiki
  • Sebab dari mereka kita belajar betapa buruknya karakter jiwa yang berpenyakit, yang kemudian kita berusaha menanggalkan karakter tersebut
  • Sebab dari mereka kita belajar untuk memaafkan, bertumbuh dengan sabar, dan menemukan tangga kemuliaan yang lain yaitu rendah hati
  • Dan ini yang terpenting, sebab mereka sedang membukakan pada kita jalan menuju surga.-nuas-
Ambon, awal Juni 2008

Seniman Kehidupan


Kehidupan bukan sedang tak berpihak, atau musim sedang tak bersahabat, kita hanya perlu berdamai dengan persaan-perasaan ini. Kehidupan memang punya bahasanya sendiri, juga musim bertukar sesuai iramanya yang asli. Maka kita hanya butuh memberi apresiasi. Bahwa lukisan Tuhan selalu indah dan memesona, meski kehidupan itu hadir dengan cara yang berbeda dan sering tak kita mengerti. Ada begitu banyak warna di sana, warna yang lain, namun tak kasat mata. Kita perlu merabanya dengan indera jiwa, dengan bashirah.

Rajin sekali kita mengutuki kegagalan, padahal ia salah satu lukisan Tuhan yang menawan. Bukankah kegagalan yang membuat kita berpaling dari jalan simpang dan akhirnya mengerti jalan pulang, jalan kita yang sesungguhnya. Kegagalan yang sering membuat kita berhasil mengerti bahasa-bahasa kebahagian yang lain yaitu rendah hati dan tau terima kasih.

Juga tentang kesedihan, jarang kita ingin berguru padanya, padahal ia adalah sentuhan keindahan Tuhan yang lainnya, tak kalah mengagumkan. Kesedihan menuntun kita ke dalam keheningan batin yang disanalah kita menemukan kehalusan perasaan dan kelembutan jiwa. Kesedihan pula yang sering mengalihkan kita dari rutinitas yang melenakan dan mematikan. Mengajak kita duduk sejenak dan berkaca diri dan kemudian memasuki ruang-ruang pencerahan di dalamnya. Sungguh tak jarang kita mengenal Tuhan lewat kesedihan.

Tentang musibah, benturan-benturan, kekecewaan, rasa sakit, dan atau apa pun kita menyebutnya, semuanya itu hanyalah pertunjukan lain dari warna kehidupan yang dihadirkan Tuhan yang sejatinya tak kalah memesona. Bukankah dari hal-hal itulah kita menjadi lebih matang, lebih dewasa, dan lebih kuat. Ia hanyalah tangga-tangga kehidupan yang membimbing kita menuju ranah kearifan. Dan yang tak kalah penting, bahwa inilah salah satu jalan dimana Tuhan berkehendak mensucikan diri kita.

Maka kita hanya perlu menjadi seniman-seniman kehidupan yang memandang kehidupan ini sebagai Maha Karya Tuhan yang luar biasa. Mengawali hari dengan rasa kagum, menjalani hari dengan kekaguman yang bertambah, dan kemudian menggenapkan hari dengan menyempurnakan rasa kagum itu... sepenuh syukur.
Hingga tak ada lagi kecewa atas hidup yang seolah tak berpihak, resah atas musim yang sepertinya tak bersahabat, atau keluh pada wajah kehidupan yang terasa sendu. Karena semuanya telah terlihat sebagai keindahan, anugrah, kebahagiaan berselang-seling.
Ya..kalau kita ingin mengerti bahwa semua itu adalah bahasa cinta dari Rabb semesta alam. Wallahu `alam.-nuas-
Ambon, awal Juni 2008

Selasa, 27 Mei 2008

Tersenyumlah


Pernahkah engkau menemukan senyuman yang teramat indah, seelok merah jambu, setenang lubuk nan jauh, damai, menatapnya seolah senyum itu berkata 'aku akan menjagamu', dalam tak terduga, menerobos masuk kepori-pori perasaan, lalu berdiam disana, sejuk, tenang. ai...ini pasti senyuman yang jujur berasal dari dalam hati, bukan sekedar tarikan sudut bibir. Sungguh saya pernah menemukannya.


Tersenyumlah
.
Tersenyum pada saudaramu, karena ia adalah hadiah. Pemberian yang menguatkan ikatan. Senyum adalah bahasa jiwa, sapaan yang tak membutuhkan kata-kata, ungkapan kehalusan, tawaran maksud baik, pemecah kebuntuan, panawar kebekuan, pertanda keikhlasan. Ia adalah ungkapan cinta, seperti kembang tanpa duri, indah, harum, tak melukai.
Tersenyumlah
.
Tersenyum pada hari-hari, cita-cita dan rencanamu. Karena ia adalah bukti kesungguhan dan keteguhan. Ia merangkum kekutan dalam satu simpul. Ketenangan, kematangan, kearifan, terjalin menjadi satu, memesona.
Tersenyumlah
.
Tersenyum pada sang mentari yang bersinar keemasan, pada rembulan yang bercahaya keperakan, pada angin yang membawa harapan, pada bintang yang gemerlap seperti lampu bergantung tanpa tangkai, pada pelangi yang sumringah, pada pucuk yang merekah, pada gunung yang teguh nan anggun, pada burung yang terbang bebas, pada laut yang dalam tak terduga, pada semesta. Tersenyumlah pada segenap peserta jagad raya. Karena ia adalah pertanda persahabatan, ungkapan persahabatan sekaligus penjagaan.
Tersenyumlah
.
Tersenyum pada Tuhanmu, tersenyum dengan sepenuh prasangka baik atas segala takdirnya. Karena ia pertanda ketundukan sekaligus ungkapan kesyukuran.
Maka tersenyumlah...dan berbahagialah karena sungguh senyum itu berbuah surga.-nuas-

Ambon, 27 Mei 2008

Kamis, 22 Mei 2008

Bangkitlah Indonesiaku

Sebuah Catatan Kecil Se-abad Kebangkitan Nasional

...
perahu negeriku
perahu bangsaku
jangan retak dindingmu...

Seabad adalah waktu yang telah relatif lama, kita bersama di gerbong besar bangsa ini. Perjalanan telah cukup jauh, telah banyak persimpangan sejarah kita lewati bersama, tikungan tajam, tanjakan dan penurunan sama kita lalui. Hari ini adalah saat yang baik untuk refleksi atas perjalanan kita bersama di gerbong besar ini. mari kita istirahat sejenak, mengambil jeda dan memetakan ulang rencana perjalanan kita.
Tentu menguras tenaga perjalanan ini, banyak pemendangan-pemandangan indah di sisi jalan tak sempat kita rekam, momen momen mengagumkan terlewat begitu saja. Sementara
banyak keributan-keributan kecil, bahkan kecelakaan-kecelakaan beruntun menguras ketegangan kita. Suara-suara tak karuan, jerit tangis tertahan, umpatan, perdebatan, ketidak harmonisan sesama penumpang gerbong menambah kepenatan fisik, perasaan dan pikiran. Belum lagi cuaca yang sering tak bersahabat akhir-akhir ini, menambah kegalauan hati.
Mari kita singgah sejenak, mengukur apa yang telah kita raih selama perjalanan ini. Telah silih berganti pemimpin mengambil kendali lokomotif gerbong besar ini, tapi kesejahteraan yang merata masih saja hanya menjadi mimpi para penumpang gerbong ini. Banyak jatah makan dicuri diam-diam atau diarampas dengan tega oleh segilitir orang, membuat penumpang yang lain kelaparan, dan anak-anak jatuh sakit kekurangan gizi. Masih ada watak tak adil dan pengkelasan penumpang kelas satu dan kelas dua atau kelas berikutnya, pengkotakan miskin dan kaya, pembedaan penumpang barat dan timur.
Lihatlah anak dan remaja malah terbius oleh budaya yang merampas masa depan mereka (yang berarti juga masa depan gerbong besar ini), mengkomsumsi obat terlarang seperti mereka makan suplemen penambah daya tahan tubuh, gagap terhadap apresiasi seni dan jumud memahami kemajuan, malah bangga dengan trend liar, jauh dari kesan beradab dan kehilangan rasa malu. Sementara bapak-bapaknya sibuk bertarung dan bertaruh siapa yang berhak menjadi punggawa gerbong, di lain waktu ibu-ibu ribut menyemangati gosip murahan, melupakan anak dipangkuan yang berhak belaian dan jatah ASI. Oh..betapa sungguh masih banyak paradoks pentas digerbong ini, setiap hari, bukan.. bahkan setiap saat, setiap jamnya, setiap menitnya.
Hari ini, seabad kita telah berjalan, mari kita lanjutkan cita dan harapan mulia pelopor perjalanan ini, untuk kita wariskan kepada generasi berikut tanpa rasa bersalah dan kehilangan rasa bangga. sudah saatnya kita bangkit bersama membawa gerbong besar ini ke tanah harapan yang kita idamkan bersama. Negeri sejahtera dan berkeadilan yang diridhoi oleh Allah pemilik semesta.
Kita semua punya peran dalam perjalanan ini. Berikanlah setangkai melati bila itu yang kita punya, atau sekuntum doa bahkan bila hanya itu yang tersisa, dan tentu kita bisa lebih dari itu semua. Atau sitidaknya jangan menjadi penumpang gelap yang membuat onar dalam gerbong dan membahayakn sesama penumpang.
Dengan niat yang suci, semangat yang teguh, dan optimisme yang menyala, kita melangakah bersama menuju bangsa yang lebih baik.
Bangkitlah Indonesiaku.-nuas-
Ambon, 20 Mei 2008

Minggu, 18 Mei 2008

Kembali


Kembalilah...
di sini
meneruskan cerita kita yang tak selesai
menggenapkan mimpi yang belum usai...

Kutanya padamu wahai diri...
Kepada siapakah engkau berteriak dan kepada siapakah engkau melawan?
Kepada duniakah? Yang mendemonstrasikan kedzaliman dengan sangat elegan.
Kepada budaya picisan dengan trend lokal dan interlokal murahan.
Kepada drama tragis kemanusiaan yang tak pernah selesai dipentaskan.
Kepada status quo yang tak gamang berdiri di atas tirani dan hirarki
Kepada siapakah..? Kutanya dirimu sekali lagi wahai diri...
Sementara dikamarmu sendiri tergeletak lesu idealisme.
Jauh di sudut hatimu ada jerit nurani yang tak jua kunjung berdamai.
Lihatlah, pada dirimu ada pengkhianatan jati diri, tinggallah identitas sejati bercengkrama dengan sepi dan jejaring laba-laba.
Bahwa melawan adalah sebuah keharusan, tuk mengalirkan gelisah dan sesak atas realitas kekinian.
Namun mutlak, perlawanan dimulai atas diri sendiri.
Men"tanah rata"kan bias atas kesucian niat, keihlasan, dan keteguhan.
Membunuh kelemahan jiwa, menaklukkan tiran yang menjajah jiwa.
Agar...teriakan itu tak menjadi seruan malu-malu tersapu angin lalu.
Agar sejarah diri tak hanya sekedar narasi yang sepi inspirasi.
Maka kembalilah...wahai diri, pada iman sejati, pada jati diri. -nuas-
Ambon, Mei 2008

Sabtu, 17 Mei 2008

Ketika Aku dan Kau Tak Menjadi Kita

"Kita berhak mencintai siapa saja, dan adalah hak Allah untuk untuk ditaati Syariatnya"

Suatu siang, beberapa tahun silam, berbincang di halaman sebuah masjid, ketika seorang sahabat tiba-tiba bertanya, "apakah engkau percaya pada cinta sejati"? Saya tak menjawab, hanya tersenyum. Menurutnya banyaki orang yang awalnya saling mencinta, kemudian tiba-tiba saling membenci. Kenyataanya banyak orang yang mulanya berkasih sayang kemudian saling bermusuhan. Lalu kami pun berpisah membawa imajinasi masing-masing.
Bertahun kemudian, pada suatu malam, duduk di tepi jalan, ketika sahabat yang sama waktu itu, kembali membuka cerita tentang cinta. Tak lagi bertanya, ia justru bercerita tentang pencariaanya, tentang perjalanan cintanya yang tak sampai, malah membuatnya mengerti tentang cinta, cinta yang jujur, tegasnya demikian.
Bahwa cinta tidak berlokus di dalam diri, tapi berorientasi pada yang dicinta. Cinta pada maqam ini, tak lagi perlu diberi, tapi selalu ingin memberi. Tak butuh dilayani justru berbahagia dengan melayani. Kebahagiaan sang pencinta hadir ketika ia memberi, melayani bahkan berkorban. Saat itu cinta tak harus memiliki, karena mencintai tidak terbatasi dimensi ruang dan waktu, bisa dimana saja dan setiap saat. Gagal memiliki tidak berarti gagal mencintai.
Saya pun kembali tersenyum, tak banyak komentar. Sebab saya memang tak banyak mengerti tentang cinta. Yang saya tahu, bahwa cinta itu suci, maka jangan dibunuh rasa itu, tapi bingkailah dengan cahaya.
Maka selamat mencinta kawan...-nuas-

* Untuk sahabatku Halfian "phiank" Syam di Makassar, yang diam-diam saya belajar banyak darinya. Ana uhibbuka fillah akhi..
Ambon, Mei 2008

Senin, 12 Mei 2008

Aku Heran...


Waktu SD dulu, saya masih terlalu polos untuk mengerti untuk apa mencontek.
Tiba di SMP, waktu itu kelas satu, untuk pertama kali saya terheran-heran peda seorang teman yang tanpa malu-malu mencontek, mencuri jawaban dari sebuah buku catatan di balik meja.

Saat SMA keheranan pun bertambah-tambah. Ujian sekolah bersinonim dengan musim mencontek. Kiri kanan depan belakang semua mencontek. Mereka adalah para profesional dalam hal ini. sampai genap sempurna keheranan saya, ketika UAN (Ujian Akhir Nasional) waktu itu masih disebut EBTANAS. Seorang guru tiba-tiba masuk ruangan ujian, dengan wajah sok dermawan membagi potongan kertas berisi jawaban ujian, hebatnya pengawas pun meng"amin"kan. Luar biasa bukan? Bila guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari. Tapi, di sekolah kami guru dan murid kencing di celana, sama-sama mabok.

Begitupun saat belajar di sekolah kedokteran, saya bersyukur bertemu dengan orang-orang cerdas dan hebat-hebat. Tapi saya masih dibikin heran. Kelas ini adalah kelas elit, tempat para calon dokter ditempa. Ternyata idealisme dan integritas tak banyak menemukan orang-orangnya. Praktek nyontek pun dilakoni dengan trik yang lebih komplit dan tentunya lebih elit.

Dan hari ini saya tak lagi akrab dengan institusi pendidikan formal, ingin tau apa lagi yang terjadi, saya mencoba mengontak seorang teman lama yang kini telah menjadi seorang guru, dan katanya beliau lagi sibuk, tepatnya sibuk menyiapkan jawaban untuk ujian akhir murid-murid mereka...he..he.
Namun saya tak lagi heran, karena heran saya telah lama punah. Inilah wajah bergincu pendidikan kita. Memoles wajahnya dengan coreng hitam dan kepalsuan.

Justru Heran itu hadir kembali, ketika mendengar kabar para siswa kelas VI SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) menolak diberi contekan dan mengatakan pada pengawas "tidak usah pak, itu dosa". Ini baru dahsyat.
Tapi makhluk apakah ia gerangan, masih diperlukan waktu agar ia menjadi bilangan dominan untuk menjadi trend baru yang akan didedikasikan bagi umat dan bangsa ini.
Selamat datang anak-anak muda harapan, sehat akalnya, cerdas pikirannya, dan suci imannya. Di pundakmulah masa depan umat dan bangsa ini kelak di kokohkan.-nuas-

* Salam Hormat buat Uzt Hamzah, seorang pendidik di SDIT Ar Rahmah Makassar... Kapan outbound lagi uzt??
Ambon, 12 mei 2008

Noblese Oblige


Berbekal bonus SMS gratis, saya mencoba memautkan tali silaturrahim dengan sahabat-sahabat jauh. Saya hubungi satu-satu, bertanya kabar dan tak lupa bertanya posisi sekarang. Ketika SMS berbalas satu persatu. tiba-tiba saya merasa tersadar, sungguh kita telah berpencar jauh. Menyusur jalan takdir kita masing-masing.

Nun di sana di Tanah Rencong Aceh, Terserak di tanah Jawa, bertaburan di rimba Borneo, Tanah Sulawesi, Ternate, Nusa Tenggara sana, sampai ke pedalaman Papua. Bertebaran di pelosok nusantara.
Ini membawaku kembali pada kenangan tentang sebuah rumah besar, rumah tempat kita ditempa bersama, dibentuk bersama, menemukan dan membesarkan cita-cita bersama, tertawa dan belajar bersama. Rumah tempat idealisme di rawat dan dibesarkan.

Padu mengabdi
Lalu inilah saat, ketika semua yang telah kita dapat dan tumbuhkan bersama di rumah itu dulu dibumikan. Bahwa idealisme tak sekedar retorika dan sebatas wacana atau gurauan anak muda. Bukan untuk ditinggalkan berserakan di koridor-koridor dan lantai putih rumah kita.
Bertebaranlah di penjuru negeri mengamalkan ilmu dan keahlian.
Inilah saat Ilmu, Iman dan amal padu mengabdi.

Lalu saya ingi mengenang lagu kebanggan, saat pertama kali menjejakkan kaki di halaman rumah besar kita tempo hari
...
Didesa dan di kota
bagiku sama saja
walaupun di tengah malam
tugas tetap harus ku jalankan
(Balada dokter kontrak)
Teriring salam untuk Teman-teman Sejawat di manapun berada. Ingat sebuah pesan guru untuk profesi kita. Noblese Oblige... bahwa dalam kemuliaan (profesimu) bersamanya ada tanggung jawab.-nuas-
Ambon, 12 mei 2008

Musim Bersyukur

" Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu beruntung" (al- A`raf : 69)

Berpuluh tahun yang lalu, adakah kita pernah mebayangkan akan hidup di dunia ini. Lengkap dengan kesempurnaan yang kita miliki. Mempunyai tubuh yang kokoh, mempunyai mata yang dengannya kita menatap warna dan membaca semesta. Memiliki telinga yang dengannya kita mendengar gerimis jatuh perlahan, mendengar lantunan anak mengaji, ataukah tangisan bayi yang membahagiakan itu. Mempunyai akal yang dengannya kita memahami dan tau arti. Punya jiwa yang dengannya kita mencinta dan menyayangi.

Maka, apakah yang telah kita syukuri hari ini?

Sungguh betapah indah mengenang masa kecil kita, berlarian, berebutan, berkelahi, bercanda, bahkan tangisnya pun tetap membuat kita tersenyum. Semua penuh suka cita, genap kebahagiaan.
Padahal waktu itu belum punya apa-apa
Sedangkan waktu itu kita tak ada daya apa-apa
bukankah waktu itu kita bergantung sepenuhnya?

Maka apakah yang telah kita syukuri hari ini?

Lalu mengapa kita merasa susah?
Mengapa kita merasa sempit dalam hidup ini?
Mengapa kita merasa gagal dalam cita-cita?
Mengapa kita merasa hancur dan mendapat musibah?
Mengapa kita merasa menjadi korban?
Mengapa kita merasa jalan buntu dan pintu tertutup?
Mengapa kita merasa kehilangan semangat dan prasangka baik?
Mengapa kita bersedih?

Pantaskah kita bersikap demikian?

Mana senyum itu?
Mana tawa itu?
Mana suka cita itu?
Mana bahagia itu?
Mana syukur itu?

..." Jika engkau bersyukur, maka akan kutambahkan (nikmat-Ku), dan jika engkau kufur (ingkar), sesungguhnya siksa-Ku amat pedih ( Ibrahim: 7)

Maka beruntunglah orang yang bersyukur yang akan mujur dan makmur. Dan yang tak pandai bersyukur, tunggulah ia akan hancur dan lebur.

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu "Bersyukurlah kepada Allah. dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa kufur (tidak bersyukur),sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".(Luqman : 12)-nuas-

*
Seperti yang ditulis Ust Abdurrahman Muhammad Pimpinan Umum Hidayatullah dengan sedikit gubahan. Termakasih kepada Uzt. atas nasihat dan inspirasinya.
Ambon, Mei 2008

Kamis, 08 Mei 2008

Jalan Sunyi

"Dapat kugambarkan profilMujahid sejati dalam diri seseorang yang siap mengambil bekal dan memenuhi perlengkapannya. Seluruh dirinya -seluruh sudut hati dan jiwanya- didominasi pikiran seputar perjuangan. Ia dalam pemikiran selalu, perhatian yang besar dan persiapan yang senantiasa" ( Imam AlBanna)

Menepi dari jalan ramai dan memilih kesunyian, menapaki pendakian yang senyap, tikungannya sepi, sesekali hanya terdengar gemerisik dedaunan saling bergesek mempertegas keheningan. Ada begitu banyak duri disana, lorong-lorongnya gelap, berkelok panjang bahkan tak berani menerka ujungnya di mana. Siapkah engkau..?
Dibutuhkan keberanian, harus melimpah keteguhan dan nafas panjang kesabaran bila engkau ingin menapakinya. Namun hidup adalah pilihan, aku dan engkau pun harus memilih jalan.

Jalan Para Pahlawan
Jalan sunyi, tak banyak yang ingin ke sana karena ini adalah jalan kesungguhan, jalan yang disuguhi tantangan dan beratnya ujian, inilah jalan para pahlawan, mereka yang memilih untuk berjuang. Dan demikianlah tabiatnya, jalan kepahlawanan sungguh berat, ada banyak godaan bersamanya. Di sini harta, perasaan bahkan darah bukan hal yang mahal untuk dikorbankan.
Jalan sunyi, tak banyak yang ingin ke sana, itulah sebabnya ia sunyi. Tak ada lagu dan pujian di sini, itulah mengapa ia sepi. Juga tak ada gurau dan gincu di sini, itulah alasan ia hening. Demikianlah wataknya, manusia cenderung menjauhi kesulitan.

Siapakah pemilik jalan itu
Maka akan kau temukan di jalan itu orang-orang dengan atribut kemulian. " Pergi pulangnya, tutur bahasanya, sungguh-guraunya, tak melampaui garis batas medan juang yang ia siapkan dirinya untuk itu.... Nampak jelas pada kerut-raut wajanya, dalam kilat matanya dan terdengar pada luncuran tutur lisannya, segala indikasi kesungguhan yang lekat dan duka yang dalam, berkobar dalam hatinya serta azzam yang sungguh, semangat yang tinggi serta semangat yang jauh kedepan, sebagai luapan jiwanya".( ust Rahmat Abdullah; Pilar2 Azasi).
Adakah engkau juga ingin bergabung...?-nuas-

Ambon, Mei 2008