Jumat, 04 Juli 2008

Lelaki di Bibir Teluk


Lelaki itu diam, berdiri bersedekap, tenang ia memandang lautan, dari bibir teluk. Tak berbilang berapa sering ia menjalani rutinitasnya seperti ini. Hampir setiap hari seperti ritual yang khusyuk, larut dalam kontemplasi yang sakral. Air mukanya tenang, sehening bukit di seberang. Sesekali ia mendesah, seakan ingin melepas semua udara yang terperangkap di rongga alveolinya. Tak jarang ia tersenyum sendiri, senyuman yang amat indah, pemandangan sore pun seolah mengalah. Ia menekuni riak teluk, menyapu luasnya hamparan kilau air lautan dengan tatapan lurus kedepan, seperti sedang menanti sesuatu. Ia juga sangat senang menyaksikan parade burung yang pulang entah dari mana, juga elang laut yang berputar-putar dengan mata tajam mengawas buruannya. Saat langit perlahan gelap, dan surya sempurna tenggelam ia pun beranjak, menjawab seruan azan.

Tak seperti kemarin, saat ia kembali datang, duduk merunduk, di beton pemecah ombak, dari raut wajahnya ia sedang memendam sendu, tak ada senyuman indah saat itu, sambil menatap laut dalam-dalam seakan menembus sampai kedasar, dan mencurahkan rasanya pada ikan-ikan dan rerumput laut. Desahannya berat, duduk ia semakin merunduk, ketika tetes titik-titik bening dari sudut matanya ia biarkan jatuh satu-satu, menyatu dengan laut, agar sedihnya larut terpendam samudra.

Hari ini pagi-pagi, tak lagi tersisa kabut di wajahnya, matanya berbinar, rautnya sumringah. Berdiri ia kembali di bibir teluk, membiarkan tubuhnya tersiram cahaya putih kemilau pagi. senyumnya lebih indah, desahnya lebih ringan. Wajahnya seperti turut bercahaya. Ada yang tak biasa hari ini, tak hanya diam, kini ia bersuara, berkata tanpa ragu. 'Aku akan pulang, melesat menuju cahaya'. -nuas-
Sebuah pagi di ambon, Juli 2008

* Ada komitmen dengan orang lain, dengan diri sendiri, dengan Tuhan, untuk sebuah perubahan. dan itu harus dimulai.

1 komentar:

purwa mengatakan...

Yang pasti bukan aku kan? ;)


dhie
http://jendelahati.net