Minggu, 09 Maret 2008

pohon dan halilintar

"Jangan mencoba menakuti kami, yang dibesarkan dalam asuhan badai dan petir"
Demikian kalimat yang membesarakan gelora, bila keberanian dan keteguhan telah menemukan tempatnya maka tak ada alasan untuk beranjak. Maka percumalah ancaman dan tekanan, ia hanya akan menjadi debu beterbangan diterbangkan ke dunia yang asing, disana di dunia para pengecut menyembunyikan mukanya.
Tak ada alasan untuk beranjak, sekali lagi, karena keyakinan kini telah tumbuh menjadi pohon yang kokoh berakar kuat, bercabang dan rimbun, buahnya keteguhan, kesabaran, keberanian, dan kepasrahan pada kelezatan takdir. Pohon yang tak lagi segan bercengkrama dengan topan dan halilintar.
Atau bila engkau masih tak percaya, mari kita bermain-main untuk menguji daya tahan, silahkan saja...tapi sepertinya semua itu hanya akan menjadi pupuk yang semakin membesarkan pohon keteguhan dan menambah buahnya lagi yang bernama kearifan. Silahkan saja...

RUSUNawa

Rumah Susun I
Kita bertemu didepan gapura
lalu kutawarkan setangkai senyum
tapi kau tepis dalam beku

adakah bungaku tak tampak mawar?

Tamalanrea, April 2006

Rumah Susun II

Kali pertama aku melihatnya
Lewat di depan jendela
Jalan tergesa dan tunduk pandangnya


Kali kedua aku melihatnya
Di sebuah malam
Jalan tergesa, mungkin pulang dari pengajian


Kali ketiga aku melihatnya
Ketika jalan beriringan
Namun tak kudapatkan langkahnya


Berkali aku melihatnya
Bahkan nama pun aku tak mengenalnya
Dia, seorang perempuan berjilbab dengan langkah selalu tergesa.
Tamalanrea, April 2006

Fighting For the True


Cahaya fajar terbit ketika malam telah menemukan gelapnya yang paling pekat, seperti juga gelora, semangat dan talenta kepahlawanan tumbuh subur justru di musim yang paling tidak bersahabat. Tapi di situlah letak kekuatannya, disaat kekalahan, ketertinggalan, kejatuhan dan kesedihan bersimpul menjadi energi perlawanan. Ketika kekalutan tak lagi memberikan pilihan kecuali melawan, maka semakin suburlah keberanian.

Jumat, 07 Maret 2008

Tangan Takdir


"Kerjakanlah yang terbaik, dan biarlah takdir yang menyempurnakan dengan caranya sendiri"
Air mengalir menorobos celah dan memecah bebatuan, berjalan tak berhenti, menuju muaranya, untuk menemukan takdirnya. Seperti angin melintasi samudera, menyapu punggung bukit, berputar, melayang, terbang berkelana memenuhi panggilan takdirnya.

Demikian juga perjalanan ini, apakah kita akan terus disibukkan dengan tanya dalam wacana tak berkesudahan antara fatalisme dan aroganisme, bingung untuk menjawab apakah kita dapat merubah takdir, cukuplah kita sadar bahwa kita berjalan untuk menemukan dan menyempurnakan takdir kita.

Bahwa apa yang menjadi milikmu pasti akan kau temukan, dan apa yang tak menjadi hakmu tak akan kau dapatkan, bahkan meski bersusah payah mengusahakannya. Hal ini tidaklah kemudian mengajak kita untuk diam dan menunggu, karena realitas bermain pada wilayah hukum kausalitas, yang mengajari kita untuk berikhtiar semampu daya, siapa yang menabur benih dialah yang akan menuai. Namun pada akhirnya semua tersimpul pada sebuah diktum kosmos "man propose God dispose". Disitulah tangan takdir bekerja dengan caranya sendiri, sebuah cara yang misterius. Ada yang menyebutnya sebagai penyelenggaraan Tuhan, dan dalam setiap penyelenggaraan-Nya selalu ada hikmah, selalu ada keadilan. Maka teruslah berjalan agar engkau pandai menemukan hikmah dan keadilan Tuhanmu.

Kamis, 06 Maret 2008

Pembuka

Bismillah...kusempurnakan pujian kepada Rabb yang menciptakan,
teriring salam menemani kerinduan untuk yang tercinta Rasulullah Saw,
keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Setelah kembali dari perjalanan keluar, menyusur negeri,

mengejar gelombang dan terbang bersama angin, ada saat untuk kembali...
Kembali merenung sejenak, bertanya pada diri.

setelah lelah yang tak berkesudahan dan soal yang masih belum juga terjawab,
sepertinya ada peta jalan yang harus disusun ulang, perjalanan kedalam... Ya,
kedalam diri.

Ya Rabb
telah ku ketuk pintu-Mu
lamaa tak Kau buka
Setelah terbuka
ternyata, aku mengetuknya
dari dalam.
(adopsi puisi Rumi)