Selasa, 27 Mei 2008

Tersenyumlah


Pernahkah engkau menemukan senyuman yang teramat indah, seelok merah jambu, setenang lubuk nan jauh, damai, menatapnya seolah senyum itu berkata 'aku akan menjagamu', dalam tak terduga, menerobos masuk kepori-pori perasaan, lalu berdiam disana, sejuk, tenang. ai...ini pasti senyuman yang jujur berasal dari dalam hati, bukan sekedar tarikan sudut bibir. Sungguh saya pernah menemukannya.


Tersenyumlah
.
Tersenyum pada saudaramu, karena ia adalah hadiah. Pemberian yang menguatkan ikatan. Senyum adalah bahasa jiwa, sapaan yang tak membutuhkan kata-kata, ungkapan kehalusan, tawaran maksud baik, pemecah kebuntuan, panawar kebekuan, pertanda keikhlasan. Ia adalah ungkapan cinta, seperti kembang tanpa duri, indah, harum, tak melukai.
Tersenyumlah
.
Tersenyum pada hari-hari, cita-cita dan rencanamu. Karena ia adalah bukti kesungguhan dan keteguhan. Ia merangkum kekutan dalam satu simpul. Ketenangan, kematangan, kearifan, terjalin menjadi satu, memesona.
Tersenyumlah
.
Tersenyum pada sang mentari yang bersinar keemasan, pada rembulan yang bercahaya keperakan, pada angin yang membawa harapan, pada bintang yang gemerlap seperti lampu bergantung tanpa tangkai, pada pelangi yang sumringah, pada pucuk yang merekah, pada gunung yang teguh nan anggun, pada burung yang terbang bebas, pada laut yang dalam tak terduga, pada semesta. Tersenyumlah pada segenap peserta jagad raya. Karena ia adalah pertanda persahabatan, ungkapan persahabatan sekaligus penjagaan.
Tersenyumlah
.
Tersenyum pada Tuhanmu, tersenyum dengan sepenuh prasangka baik atas segala takdirnya. Karena ia pertanda ketundukan sekaligus ungkapan kesyukuran.
Maka tersenyumlah...dan berbahagialah karena sungguh senyum itu berbuah surga.-nuas-

Ambon, 27 Mei 2008

Kamis, 22 Mei 2008

Bangkitlah Indonesiaku

Sebuah Catatan Kecil Se-abad Kebangkitan Nasional

...
perahu negeriku
perahu bangsaku
jangan retak dindingmu...

Seabad adalah waktu yang telah relatif lama, kita bersama di gerbong besar bangsa ini. Perjalanan telah cukup jauh, telah banyak persimpangan sejarah kita lewati bersama, tikungan tajam, tanjakan dan penurunan sama kita lalui. Hari ini adalah saat yang baik untuk refleksi atas perjalanan kita bersama di gerbong besar ini. mari kita istirahat sejenak, mengambil jeda dan memetakan ulang rencana perjalanan kita.
Tentu menguras tenaga perjalanan ini, banyak pemendangan-pemandangan indah di sisi jalan tak sempat kita rekam, momen momen mengagumkan terlewat begitu saja. Sementara
banyak keributan-keributan kecil, bahkan kecelakaan-kecelakaan beruntun menguras ketegangan kita. Suara-suara tak karuan, jerit tangis tertahan, umpatan, perdebatan, ketidak harmonisan sesama penumpang gerbong menambah kepenatan fisik, perasaan dan pikiran. Belum lagi cuaca yang sering tak bersahabat akhir-akhir ini, menambah kegalauan hati.
Mari kita singgah sejenak, mengukur apa yang telah kita raih selama perjalanan ini. Telah silih berganti pemimpin mengambil kendali lokomotif gerbong besar ini, tapi kesejahteraan yang merata masih saja hanya menjadi mimpi para penumpang gerbong ini. Banyak jatah makan dicuri diam-diam atau diarampas dengan tega oleh segilitir orang, membuat penumpang yang lain kelaparan, dan anak-anak jatuh sakit kekurangan gizi. Masih ada watak tak adil dan pengkelasan penumpang kelas satu dan kelas dua atau kelas berikutnya, pengkotakan miskin dan kaya, pembedaan penumpang barat dan timur.
Lihatlah anak dan remaja malah terbius oleh budaya yang merampas masa depan mereka (yang berarti juga masa depan gerbong besar ini), mengkomsumsi obat terlarang seperti mereka makan suplemen penambah daya tahan tubuh, gagap terhadap apresiasi seni dan jumud memahami kemajuan, malah bangga dengan trend liar, jauh dari kesan beradab dan kehilangan rasa malu. Sementara bapak-bapaknya sibuk bertarung dan bertaruh siapa yang berhak menjadi punggawa gerbong, di lain waktu ibu-ibu ribut menyemangati gosip murahan, melupakan anak dipangkuan yang berhak belaian dan jatah ASI. Oh..betapa sungguh masih banyak paradoks pentas digerbong ini, setiap hari, bukan.. bahkan setiap saat, setiap jamnya, setiap menitnya.
Hari ini, seabad kita telah berjalan, mari kita lanjutkan cita dan harapan mulia pelopor perjalanan ini, untuk kita wariskan kepada generasi berikut tanpa rasa bersalah dan kehilangan rasa bangga. sudah saatnya kita bangkit bersama membawa gerbong besar ini ke tanah harapan yang kita idamkan bersama. Negeri sejahtera dan berkeadilan yang diridhoi oleh Allah pemilik semesta.
Kita semua punya peran dalam perjalanan ini. Berikanlah setangkai melati bila itu yang kita punya, atau sekuntum doa bahkan bila hanya itu yang tersisa, dan tentu kita bisa lebih dari itu semua. Atau sitidaknya jangan menjadi penumpang gelap yang membuat onar dalam gerbong dan membahayakn sesama penumpang.
Dengan niat yang suci, semangat yang teguh, dan optimisme yang menyala, kita melangakah bersama menuju bangsa yang lebih baik.
Bangkitlah Indonesiaku.-nuas-
Ambon, 20 Mei 2008

Minggu, 18 Mei 2008

Kembali


Kembalilah...
di sini
meneruskan cerita kita yang tak selesai
menggenapkan mimpi yang belum usai...

Kutanya padamu wahai diri...
Kepada siapakah engkau berteriak dan kepada siapakah engkau melawan?
Kepada duniakah? Yang mendemonstrasikan kedzaliman dengan sangat elegan.
Kepada budaya picisan dengan trend lokal dan interlokal murahan.
Kepada drama tragis kemanusiaan yang tak pernah selesai dipentaskan.
Kepada status quo yang tak gamang berdiri di atas tirani dan hirarki
Kepada siapakah..? Kutanya dirimu sekali lagi wahai diri...
Sementara dikamarmu sendiri tergeletak lesu idealisme.
Jauh di sudut hatimu ada jerit nurani yang tak jua kunjung berdamai.
Lihatlah, pada dirimu ada pengkhianatan jati diri, tinggallah identitas sejati bercengkrama dengan sepi dan jejaring laba-laba.
Bahwa melawan adalah sebuah keharusan, tuk mengalirkan gelisah dan sesak atas realitas kekinian.
Namun mutlak, perlawanan dimulai atas diri sendiri.
Men"tanah rata"kan bias atas kesucian niat, keihlasan, dan keteguhan.
Membunuh kelemahan jiwa, menaklukkan tiran yang menjajah jiwa.
Agar...teriakan itu tak menjadi seruan malu-malu tersapu angin lalu.
Agar sejarah diri tak hanya sekedar narasi yang sepi inspirasi.
Maka kembalilah...wahai diri, pada iman sejati, pada jati diri. -nuas-
Ambon, Mei 2008

Sabtu, 17 Mei 2008

Ketika Aku dan Kau Tak Menjadi Kita

"Kita berhak mencintai siapa saja, dan adalah hak Allah untuk untuk ditaati Syariatnya"

Suatu siang, beberapa tahun silam, berbincang di halaman sebuah masjid, ketika seorang sahabat tiba-tiba bertanya, "apakah engkau percaya pada cinta sejati"? Saya tak menjawab, hanya tersenyum. Menurutnya banyaki orang yang awalnya saling mencinta, kemudian tiba-tiba saling membenci. Kenyataanya banyak orang yang mulanya berkasih sayang kemudian saling bermusuhan. Lalu kami pun berpisah membawa imajinasi masing-masing.
Bertahun kemudian, pada suatu malam, duduk di tepi jalan, ketika sahabat yang sama waktu itu, kembali membuka cerita tentang cinta. Tak lagi bertanya, ia justru bercerita tentang pencariaanya, tentang perjalanan cintanya yang tak sampai, malah membuatnya mengerti tentang cinta, cinta yang jujur, tegasnya demikian.
Bahwa cinta tidak berlokus di dalam diri, tapi berorientasi pada yang dicinta. Cinta pada maqam ini, tak lagi perlu diberi, tapi selalu ingin memberi. Tak butuh dilayani justru berbahagia dengan melayani. Kebahagiaan sang pencinta hadir ketika ia memberi, melayani bahkan berkorban. Saat itu cinta tak harus memiliki, karena mencintai tidak terbatasi dimensi ruang dan waktu, bisa dimana saja dan setiap saat. Gagal memiliki tidak berarti gagal mencintai.
Saya pun kembali tersenyum, tak banyak komentar. Sebab saya memang tak banyak mengerti tentang cinta. Yang saya tahu, bahwa cinta itu suci, maka jangan dibunuh rasa itu, tapi bingkailah dengan cahaya.
Maka selamat mencinta kawan...-nuas-

* Untuk sahabatku Halfian "phiank" Syam di Makassar, yang diam-diam saya belajar banyak darinya. Ana uhibbuka fillah akhi..
Ambon, Mei 2008

Senin, 12 Mei 2008

Aku Heran...


Waktu SD dulu, saya masih terlalu polos untuk mengerti untuk apa mencontek.
Tiba di SMP, waktu itu kelas satu, untuk pertama kali saya terheran-heran peda seorang teman yang tanpa malu-malu mencontek, mencuri jawaban dari sebuah buku catatan di balik meja.

Saat SMA keheranan pun bertambah-tambah. Ujian sekolah bersinonim dengan musim mencontek. Kiri kanan depan belakang semua mencontek. Mereka adalah para profesional dalam hal ini. sampai genap sempurna keheranan saya, ketika UAN (Ujian Akhir Nasional) waktu itu masih disebut EBTANAS. Seorang guru tiba-tiba masuk ruangan ujian, dengan wajah sok dermawan membagi potongan kertas berisi jawaban ujian, hebatnya pengawas pun meng"amin"kan. Luar biasa bukan? Bila guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari. Tapi, di sekolah kami guru dan murid kencing di celana, sama-sama mabok.

Begitupun saat belajar di sekolah kedokteran, saya bersyukur bertemu dengan orang-orang cerdas dan hebat-hebat. Tapi saya masih dibikin heran. Kelas ini adalah kelas elit, tempat para calon dokter ditempa. Ternyata idealisme dan integritas tak banyak menemukan orang-orangnya. Praktek nyontek pun dilakoni dengan trik yang lebih komplit dan tentunya lebih elit.

Dan hari ini saya tak lagi akrab dengan institusi pendidikan formal, ingin tau apa lagi yang terjadi, saya mencoba mengontak seorang teman lama yang kini telah menjadi seorang guru, dan katanya beliau lagi sibuk, tepatnya sibuk menyiapkan jawaban untuk ujian akhir murid-murid mereka...he..he.
Namun saya tak lagi heran, karena heran saya telah lama punah. Inilah wajah bergincu pendidikan kita. Memoles wajahnya dengan coreng hitam dan kepalsuan.

Justru Heran itu hadir kembali, ketika mendengar kabar para siswa kelas VI SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) menolak diberi contekan dan mengatakan pada pengawas "tidak usah pak, itu dosa". Ini baru dahsyat.
Tapi makhluk apakah ia gerangan, masih diperlukan waktu agar ia menjadi bilangan dominan untuk menjadi trend baru yang akan didedikasikan bagi umat dan bangsa ini.
Selamat datang anak-anak muda harapan, sehat akalnya, cerdas pikirannya, dan suci imannya. Di pundakmulah masa depan umat dan bangsa ini kelak di kokohkan.-nuas-

* Salam Hormat buat Uzt Hamzah, seorang pendidik di SDIT Ar Rahmah Makassar... Kapan outbound lagi uzt??
Ambon, 12 mei 2008

Noblese Oblige


Berbekal bonus SMS gratis, saya mencoba memautkan tali silaturrahim dengan sahabat-sahabat jauh. Saya hubungi satu-satu, bertanya kabar dan tak lupa bertanya posisi sekarang. Ketika SMS berbalas satu persatu. tiba-tiba saya merasa tersadar, sungguh kita telah berpencar jauh. Menyusur jalan takdir kita masing-masing.

Nun di sana di Tanah Rencong Aceh, Terserak di tanah Jawa, bertaburan di rimba Borneo, Tanah Sulawesi, Ternate, Nusa Tenggara sana, sampai ke pedalaman Papua. Bertebaran di pelosok nusantara.
Ini membawaku kembali pada kenangan tentang sebuah rumah besar, rumah tempat kita ditempa bersama, dibentuk bersama, menemukan dan membesarkan cita-cita bersama, tertawa dan belajar bersama. Rumah tempat idealisme di rawat dan dibesarkan.

Padu mengabdi
Lalu inilah saat, ketika semua yang telah kita dapat dan tumbuhkan bersama di rumah itu dulu dibumikan. Bahwa idealisme tak sekedar retorika dan sebatas wacana atau gurauan anak muda. Bukan untuk ditinggalkan berserakan di koridor-koridor dan lantai putih rumah kita.
Bertebaranlah di penjuru negeri mengamalkan ilmu dan keahlian.
Inilah saat Ilmu, Iman dan amal padu mengabdi.

Lalu saya ingi mengenang lagu kebanggan, saat pertama kali menjejakkan kaki di halaman rumah besar kita tempo hari
...
Didesa dan di kota
bagiku sama saja
walaupun di tengah malam
tugas tetap harus ku jalankan
(Balada dokter kontrak)
Teriring salam untuk Teman-teman Sejawat di manapun berada. Ingat sebuah pesan guru untuk profesi kita. Noblese Oblige... bahwa dalam kemuliaan (profesimu) bersamanya ada tanggung jawab.-nuas-
Ambon, 12 mei 2008

Musim Bersyukur

" Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu beruntung" (al- A`raf : 69)

Berpuluh tahun yang lalu, adakah kita pernah mebayangkan akan hidup di dunia ini. Lengkap dengan kesempurnaan yang kita miliki. Mempunyai tubuh yang kokoh, mempunyai mata yang dengannya kita menatap warna dan membaca semesta. Memiliki telinga yang dengannya kita mendengar gerimis jatuh perlahan, mendengar lantunan anak mengaji, ataukah tangisan bayi yang membahagiakan itu. Mempunyai akal yang dengannya kita memahami dan tau arti. Punya jiwa yang dengannya kita mencinta dan menyayangi.

Maka, apakah yang telah kita syukuri hari ini?

Sungguh betapah indah mengenang masa kecil kita, berlarian, berebutan, berkelahi, bercanda, bahkan tangisnya pun tetap membuat kita tersenyum. Semua penuh suka cita, genap kebahagiaan.
Padahal waktu itu belum punya apa-apa
Sedangkan waktu itu kita tak ada daya apa-apa
bukankah waktu itu kita bergantung sepenuhnya?

Maka apakah yang telah kita syukuri hari ini?

Lalu mengapa kita merasa susah?
Mengapa kita merasa sempit dalam hidup ini?
Mengapa kita merasa gagal dalam cita-cita?
Mengapa kita merasa hancur dan mendapat musibah?
Mengapa kita merasa menjadi korban?
Mengapa kita merasa jalan buntu dan pintu tertutup?
Mengapa kita merasa kehilangan semangat dan prasangka baik?
Mengapa kita bersedih?

Pantaskah kita bersikap demikian?

Mana senyum itu?
Mana tawa itu?
Mana suka cita itu?
Mana bahagia itu?
Mana syukur itu?

..." Jika engkau bersyukur, maka akan kutambahkan (nikmat-Ku), dan jika engkau kufur (ingkar), sesungguhnya siksa-Ku amat pedih ( Ibrahim: 7)

Maka beruntunglah orang yang bersyukur yang akan mujur dan makmur. Dan yang tak pandai bersyukur, tunggulah ia akan hancur dan lebur.

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu "Bersyukurlah kepada Allah. dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa kufur (tidak bersyukur),sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".(Luqman : 12)-nuas-

*
Seperti yang ditulis Ust Abdurrahman Muhammad Pimpinan Umum Hidayatullah dengan sedikit gubahan. Termakasih kepada Uzt. atas nasihat dan inspirasinya.
Ambon, Mei 2008

Kamis, 08 Mei 2008

Jalan Sunyi

"Dapat kugambarkan profilMujahid sejati dalam diri seseorang yang siap mengambil bekal dan memenuhi perlengkapannya. Seluruh dirinya -seluruh sudut hati dan jiwanya- didominasi pikiran seputar perjuangan. Ia dalam pemikiran selalu, perhatian yang besar dan persiapan yang senantiasa" ( Imam AlBanna)

Menepi dari jalan ramai dan memilih kesunyian, menapaki pendakian yang senyap, tikungannya sepi, sesekali hanya terdengar gemerisik dedaunan saling bergesek mempertegas keheningan. Ada begitu banyak duri disana, lorong-lorongnya gelap, berkelok panjang bahkan tak berani menerka ujungnya di mana. Siapkah engkau..?
Dibutuhkan keberanian, harus melimpah keteguhan dan nafas panjang kesabaran bila engkau ingin menapakinya. Namun hidup adalah pilihan, aku dan engkau pun harus memilih jalan.

Jalan Para Pahlawan
Jalan sunyi, tak banyak yang ingin ke sana karena ini adalah jalan kesungguhan, jalan yang disuguhi tantangan dan beratnya ujian, inilah jalan para pahlawan, mereka yang memilih untuk berjuang. Dan demikianlah tabiatnya, jalan kepahlawanan sungguh berat, ada banyak godaan bersamanya. Di sini harta, perasaan bahkan darah bukan hal yang mahal untuk dikorbankan.
Jalan sunyi, tak banyak yang ingin ke sana, itulah sebabnya ia sunyi. Tak ada lagu dan pujian di sini, itulah mengapa ia sepi. Juga tak ada gurau dan gincu di sini, itulah alasan ia hening. Demikianlah wataknya, manusia cenderung menjauhi kesulitan.

Siapakah pemilik jalan itu
Maka akan kau temukan di jalan itu orang-orang dengan atribut kemulian. " Pergi pulangnya, tutur bahasanya, sungguh-guraunya, tak melampaui garis batas medan juang yang ia siapkan dirinya untuk itu.... Nampak jelas pada kerut-raut wajanya, dalam kilat matanya dan terdengar pada luncuran tutur lisannya, segala indikasi kesungguhan yang lekat dan duka yang dalam, berkobar dalam hatinya serta azzam yang sungguh, semangat yang tinggi serta semangat yang jauh kedepan, sebagai luapan jiwanya".( ust Rahmat Abdullah; Pilar2 Azasi).
Adakah engkau juga ingin bergabung...?-nuas-

Ambon, Mei 2008

Salam Rindu

Ibu...
Bila kau ku rindu
Segala hijau menjadi layu
Aku luruh dalam gemuruh
terseduh
Ibu...Aku merindukanmu seperti
aku mengharapkan surga

Bapak...
Bila rembulan hadir dalam indahnya
yang paling sempurna
Itulah wajahmu
yang menguatkan langkahku
Bapak...Hangatmu hadir
dalam setiap hembusan nafasku.

Wahai angin, kutitip rasa sedalam rindu...

Ambon, 8 Mei 2008

Rabu, 07 Mei 2008

Negeri Ironi

Mari kita beristirahat sejenak, tuan. Melupakan sesaat peliknya krisis yang mendera hari hari negeri kita. Apalagi esok harga BBM konon kabar akan naik kembali.
Mari kita rehat sejenak, puan. Berbincang tentang sebuah negeri yang unik. Negeri ini kaya akan lelucon-lelucon aneh, melimpah negeri ini oleh tokoh-tokoh dengan karakter antagonis.

Konon kabarnya negeri ini sangat indah. lukisan alamnya mengagumkan, seolah ia adalah potongan-potongan nirwana yang jatuh dari langit. Bentangan pantainya sejauh mata memandang. rimba dan gunungnya teduh dan anggun. Tapi itu dulu.
Anak-anak negeri itu mungkin jenuh dengan anugerah, mereka merusak, membakarnya dan tak bertanggung jawab. Maka alam pun murka, tak lagi bersahabat. Bencana adalah menu harian yang teramat biasa.

Konon kabarnya negeri ini sangat kaya, sumber daya alamnya melimpah tak habis-habis, membentang dari ujung sampai ke ujung, di atas tanahnya ataupun di dalam perut buminya.
Tapi para penguasa di negeri itu berkhianat, merelakan kekayaan negerinya dirampok negeri-negeri lain. Jadilah anak-anak negeri itu miskin, terbelakang, dan kelaparan.

Konon juga kabarnya, negeri itu punya jati diri sebagai bangsa yang bermartabat, punya harga diri, religius dan tak pernah kehabisan pahlawan. Tapi itu tinggal cerita lama, karena kini anak-anak negerinya telah terbius oleh candu imperialis. Mereka telah meninggalkan budaya malu, menggantinya dengan praktek-praktek berselera rendah produk penjajah. Mereka beragama, tapi lebih sering lupa bahwa mereka itu bertuhan. Kehilangan harga diri, dan teramat langka orang-orang yang mau berjuang.

Sebenarnya, masih banyak keganjilan dan kegilaan negeri ironi itu, tapi cukup di sini saja. Ada kengerian membayangkan bagaimana masa depan negeri tersebut.
Maka wahai tuan dan puan, mari kita berdoa dan terus bekerja, semoga saja negeri kita tak menjadi negeri ironi yang konon kabarnya tak jauh berbeda dengan negeri tersebut. Nauzubillah.
Ambon, 7 Mei 2008

Selasa, 06 Mei 2008

Catatan Kecil Hari Pendidikan Nasional

Quo Vadis Pendidikan Anak Negeri

Seperti tersulut semangat yg ditularkan Bang Andrea `Ikal` Hirata dalam novel inspiratif Laskar Pelangi-nya, saya seperti terbawa kedalam pusaran harapan yang cerah tentang masa depan pendidikan bangsa ini.Karakter tokoh-tokoh orisinil watak pejuang, tak diragukan lagi. Anak-anak yang mengagumkan, Guru-guru yang luar biasa (semoga Allah membalas jasanya), seperti taman dan pagarnya. Anak-anak adalah kembang zamannya yang dibesarkan dan dijaga oleh pelindung yang kokoh. maka tantangan hidup yang keras (asli Indon
esia) adalah sarapan pagi, menu utama, makanan penutup siang dan malam, menjadi nutrisi yang memperkaya keahlian mereka menghadapi hidup. Tak terkalahkan...
Demikianlah anak-anak terbaik selalu lahir dari rahim guru-gur terbaik. maka kusematkan salam salut pada pendidik yang menyempurnakan dedikasinya. Dan setiap kali memandang wajah cerah anak-anak itu, di bening mata mereka, di situ seolah saya menemukan orang-orang hebat; Aristoteles, As Syafi`i, Ibnu khaldun, Ibnu Sina, Al Khawarismi, Newton, Einstein, Hamka, Habibie habibie masa depan.

Sebuah Paradoks
Tapi seolah kita akan mengalami mimpi buruk justru di alam realitas kita hari ini. Guru kencing berdiri, murid kencing menari. Dan Tak ada yang berminat mengoreksi pepatah klasik ini, sebab demikianlah faktanya. like Father like Son, seperti Bapak begitulah anaknya.
Ketika sebuah parodi kolosal baru saja dan sedang pentas di negeri ini. Hajatan besar tahunan (UAN) yang memang selalu menuai pro kontra, kembali berhasil membuat kita meringis miris.
Bukan rahasia lagi, tuan...sebab anak-anak "manis" itu telah berkolaborasi dengan guru-guru sok akademis, melakoni dosa jamaah, mengkhianati integritas, dedikasi, idealisme, nilai-nilai moral dan intelektualitas mereka sendiri. anak-anak itu telah menjadikan nyontek sebagai budaya populis, sementara guru-guru itu merasa "berderma" dengan memberikan bocoran jawaban, agar ia dan sekolahnya tetap laris manis. Hebat betul, bukan?

Buat apa pintar
Tapi, bukan salah bunda mengandung, Kita hanya perlu menata sistem ini kembali. tentang paradigma pendidikan kita. Mengutip nasihat Ust. Fauzil Adhim "Sudah saatnya kita merenungkan kembali pendididkan kita. Tugas sekolah adalah mengantar anak didik untuk menjadi manusia , mengerti tugas hidupnya dan mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Kita rangsang mereka untuk mampu memegang nilai hidup yang menggerakkan mereka untuk bertindak. Artinya, nilai hidup itu haruslah menjadi daya penggerak bagi hidup mereka. Bukan sekedar untuk menjadi bahan hafalan yang dicerna secara kognitif belaka.
Para orang tua dan guru sering menyuruh anak belajar agar pintar, tapi mereka tidak mengajarkan untuk apa pintar atau kepintaran itu seharusnya digunakan untuk apa. Lebih ironis lagi, pintar itu sama dengan angka 8, angka 9 untuk sangat pintar dan 10 untuk luar biasa pintar. dari mana anka itu diperoleh tidak penting lagi. dan disinilah bencana itu bermula. anak-anak belajar untuk melakukan penipuan bernama mencontek. Satu bentuk kejahatan yang lebih sering kita sebut sebagai kelalaian" Nah..

Guru Terbaik
Sungguh kita merindukan pendidik dengan karakter ibunda dan ayahanda guru anak-anak laskar pelangi itu. Mereka telah menjadi guru yang baik, yang mentransfer ilmu dan pemahaman kepada anak-anaknya, bahkan lebih baik dari itu telah menjadi tokoh sentral keteladanan anak-anaknya. Dan lebih dari itu semua, mereka telah menjadi guru terbaik, sebagai mata air inspirasi untuk semua.
Ambon, Mei 2008

KETIKA BATU BICARA

Ketika Batu Bicara ; Antara Makassar dan Jalur Gaza

Jalur Gaza, Palestina
"Ketika anak-anak itu telah beranjak besar dan telah bisa melempar batu, maka saat
itu, mereka bukan milik kami lagi, mereka telah menjadi anak-anak bangsanya' Begitulah seorang Ibu palestina mengenang. anak-anak muda itu akan berlari bergelombang, bergabung dalam barisan intifadhoh. menghadang tank penjajah Yahudi (Laknatullah alaih) dengan tubuh kecil mereka, membalas peluru dengan lemparan batu.

Makassar, Indonesia

Jam kuliah belum lagi selesai, ketika anak-anak muda dengan label mahasiswa berlarian bergelombang, penuh semangat dengan aroma kemarahan. Kampus sebagai ranah intelektual,tiba-tiba menjadi mendung, disusul hujan batu seketika. Anak-anak muda itu saling berbalas lemparan batu dengan batu.

Dan b
atu pun bicara
Demik
ianlah ketika batu batu berbicara di Palestina,Lemparan batu mungkin tak memberi efek yang banyak secara fisik bagi sang panjajah, tapi batu-batu mereka telah berbicara pada dunia, bahwa perlawanan mereka tak pernah berhenti. Batu-batu itu adalah bukti eksistensi mereka. Dan batu adalah simbol dan semangat yang membakar perlawanan. dan anak-anak Palestina tak akan pernah kehabisan batu-batu untuk melawan.

Demikian pula disebuah sudut makassar, batu-batu kerap berbicara membungkam logika dan kejernihan berpikir dari anak-anak muda yang notabene adalah seorang "intelek". tapi batu terlanjur bicara, entah atas nama apa, dan untuk siapa, dan ataukah acara saling lempar batu
telah menjadi bagian kurikulum tahunan sebagai materi pengkaderan dengan tema sentral " Mengukur kadar solidaritas dan militansi"?
Wallahu `alam
Ambon, 6 Mei 2008

Jumat, 02 Mei 2008

Masih tentang perjalanan


Pengalaman diantara kegagalan, kesedihan dan kabar gembira adalah guru yang tutur tentang pelajaran yang amat berharga. Lalu waktulah yang merawatnya, membiarkannya tumbuh untuk menggapai garis kesadaran. Kemudian dititik ini kita menjadi pembelajar bila kita mampu memetik hikmah dari buah tutur pengalaman yang dirawat oleh waktu dengan sabar.