Senin, 21 Juli 2008

Melesat Lagi


Bismillah...hari ini ingin aku bertutur lagi, bukan tentang lelaki yang ku tuliskan tempo hari. Kini tentang diri. Maka kuberanikan untuk memulai, dengan nama Allah, semoga ini menjadi pembuka yang baik.

Terlalu lama bila harus menunggu musim depan untuk menghitung diri. Amat jauh bila harus menanti sekian langkah lagi untuk instrokpeksi. Sementara esok pagi tak pernah berjanji untuk kembali. Bahkan helaan nafas berikutnya apakah masih bersisa lagi?!

Telah panjang berlalu perjalanan ini, musim telah bertukar, kawan sejalan pun telah lama berpencar, wajah tanah telah pudar, dan sebutan tak pantas lagi belia.
Namun ada yang tak berpindah sejak awal perjalanan dimulai. Langkah beranjak namun tak berpindah tempat. sebuah anomali dalam logika gerak. Adakah ini seperti bani israil yang terperangkap di padang Tih empat puluh tahun lamanya berputar-putar tak menemukan jalan keluar karena mereka ingkar? Atau mungkin ini seperti yang dilansir Al-Qur`an " Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang mengurai benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali..." (QS, 16 : 92)

Di titik nol kilometer rupanya diri masih berdiri. Dan kini tetap sepi, sebab kerja-kerja yang menjulang kemarin punah terbabat tsunami kekalahan diri. Karya yang tertata rapi juga lantak terguncang gempa inkonsistensi diri.

Tapi apa peduliku?!
Kekalahan telah lelah menghajarku, pun kegagalan telah letih dan memilih berdamai membimbingku.
Bukankah tak ada yang abadi di dunia ini? Tidak kekalahan dan tak juga kegagalan
Maka... aku melesat kembali... Bismillah.-nuas-

"Sebab sesungguhnya berkarya dan memberi itu adalah menapaki tangga menuju langit ketinggian, dan hambatan terbesar yang akan menyurutkan langkah kita adalah daya tarik dunia" ( Anis Matta)
Ambon, saat berbenah kembali Juli 2008

Sabtu, 19 Juli 2008

Lelaki Cahaya


Beranjak memang selalu menyisakan sesak, setidaknya perih di ulu hati. Kerinduan telah menyusup bahkan ketika langkah belum jua dimulai. Akan hari-hari yang selalu dibersamai, pada kenangan yang semuanya tiba-tiba terasa indah. Pada tarikan-tarikan yang merayu agar tak beranjak.
Namun inilah gerak yang menjadi kemestian bagi sebuah cita-cita. Diam itu menggoda, tak ada yang mengganggu, tak ada angin, tak ada petir, tak ada kejutan dan ketegangan di sini. semua serba tenang, konstan, relatif aman-aman saja. Namun diam adalah musuh hidup, sahabat kematian, dan bahayanya melenakan. Perasaan-perasaan ini tak selalu mesti dipercayai.
Maka beranjaklah ia, lelaki yang telah berazzam untuk sebuah kemuliaan. Sedih adalah energi yang akan melesatkannya semakin jauh. Kerinduan adalah puisi yang terpatri di sudut jiwanya. Godaan hanyalah gurauan angin lalu.
Kerja telah dimulai, tak ada lagi duka dan keluh, punah sudah resah yang menyiksa. Akan kau temukan di tatap matanya sinar harapan dan kesungguhan. Tunduk pandangnya, senda guraunya, diam dan ucapnya tak lain hanyalah indikasi kemuliaan.
Ia tak lagi terpesona pada bunga, karena harapnya telah menggantung ke surga. Percuma saja engkau tawarkan dunia karena ia telah sibuk dengan saum panjangnya dan hanya menanti saat berbuka.
Cintanya telah ia persembahkan bagi semesta. Air matanya adalah linangan bersimbah di sujud dan khalwatnya. Dzikir adalah gerak hati dan basah lisannya, pada duduk dan bangkitnya. Doanya melesat-lesat tersambung mengapai langit. Aksi telah usai saat yang lain belum selesai dengan debat kusirnya.
Tak ada lagi yang mampu mencegahnya untuk terus bergerak. Tidaklah letih tak juga resiko. Kini ia telah menjelma menjadi pembunuh kekalahan dan kepunahan.
Bila bulan tak purnama, malam tetap benderang...sungguh diwajahhnya ada cahaya.
Lelaki itu...kurindu.-nuas-
Ambon-Empat bulan perjalanan-. Juli 2008

Rabu, 16 Juli 2008

Ingatkan Saya

Ingatkan...kawan
Bukan aku letih dan
ingin berdiam diri
aku hanya lupa
bahwa aku punya cita-cita
Ingatkan...sayang
Bukan aku benci dan
kehilangan nurani
aku memang sering lupa
kalau aku punya cinta
Tunjuki diri...duhai Rabb
aku memang sering tersesat dan
belum kenal pada diri
Namun kumohon
jangan biarkan aku lupa jalan pulang
ke rumah-Mu.
Hidup rupanya adalah perjuangan melawan lupa, lupa pada cita-cita, lupa pada cinta, lupa pada diri bahkan lupa pada Rabb yang mencipta. Bahwa sejatinya kita adalah al insan yang bermakna lupa atau khilaf, maka itu adalah karakter yang melekat pada diri, adakah kita dapat berlari dari lupa? Di sinilah ujiannya, tarik-ulurnya, suka dan duka sebuah perjalanan dalam hidup. Maka kuingatkan pada diri untuk tak mengalah di lain kali. Cukuplah hari ini...tak esok hari.-nuas-
Ambon, Paruh Juli 2008

Jumat, 04 Juli 2008

Lelaki di Bibir Teluk


Lelaki itu diam, berdiri bersedekap, tenang ia memandang lautan, dari bibir teluk. Tak berbilang berapa sering ia menjalani rutinitasnya seperti ini. Hampir setiap hari seperti ritual yang khusyuk, larut dalam kontemplasi yang sakral. Air mukanya tenang, sehening bukit di seberang. Sesekali ia mendesah, seakan ingin melepas semua udara yang terperangkap di rongga alveolinya. Tak jarang ia tersenyum sendiri, senyuman yang amat indah, pemandangan sore pun seolah mengalah. Ia menekuni riak teluk, menyapu luasnya hamparan kilau air lautan dengan tatapan lurus kedepan, seperti sedang menanti sesuatu. Ia juga sangat senang menyaksikan parade burung yang pulang entah dari mana, juga elang laut yang berputar-putar dengan mata tajam mengawas buruannya. Saat langit perlahan gelap, dan surya sempurna tenggelam ia pun beranjak, menjawab seruan azan.

Tak seperti kemarin, saat ia kembali datang, duduk merunduk, di beton pemecah ombak, dari raut wajahnya ia sedang memendam sendu, tak ada senyuman indah saat itu, sambil menatap laut dalam-dalam seakan menembus sampai kedasar, dan mencurahkan rasanya pada ikan-ikan dan rerumput laut. Desahannya berat, duduk ia semakin merunduk, ketika tetes titik-titik bening dari sudut matanya ia biarkan jatuh satu-satu, menyatu dengan laut, agar sedihnya larut terpendam samudra.

Hari ini pagi-pagi, tak lagi tersisa kabut di wajahnya, matanya berbinar, rautnya sumringah. Berdiri ia kembali di bibir teluk, membiarkan tubuhnya tersiram cahaya putih kemilau pagi. senyumnya lebih indah, desahnya lebih ringan. Wajahnya seperti turut bercahaya. Ada yang tak biasa hari ini, tak hanya diam, kini ia bersuara, berkata tanpa ragu. 'Aku akan pulang, melesat menuju cahaya'. -nuas-
Sebuah pagi di ambon, Juli 2008

* Ada komitmen dengan orang lain, dengan diri sendiri, dengan Tuhan, untuk sebuah perubahan. dan itu harus dimulai.