Senin, 10 Mei 2010

Tetaplah Bertahan


“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-ankabut: 2)


Seharusnya keimanan, kejujuran, keikhlasan, dan semua komitmen idealis lainnya adalah pilihan yang tak bisa lagi ditawar. Bahwa seluruh komitmen tersebut adalah prasyarat sebuah pemuliaan diri, yang tak sekedar dibunyikan sebagai sebuah klaim verbal, namun ia butuh dihidupkan dalam setiap gerak ruas tubuh kita, bahkan dalam diam pun seharusnya adalah pemaknaan dari komitmen itu. Melekat dan bersenyawa dalam diri yang dengannya kita menjadi, dengannya kita disebut.

Ini memang pilihan yang tak mudah, pilihan yang akan menyita perhatian dari seluruh jatah umur kita, pilihan yang tak ingin memberikan ruang pada diri untuk sejenak mengambil waktu dan kemudian abai dari menjaganya. Pilihan yang akan menguras energi kesabaran kita. Inilah komitmen yang meletihkan, sebab ia adalah kesibukan yang tak selesai, kerja yang tak habis-habis. Setiap saat harus selalu dikuatkan, senantiasa harus dibela, tak kenal waktu dan tak peduli medan, ia harus selalu dimenangkan dari tarikan-tarikan yang menggodanya.

Demikianlah kenyataanya, karena hidup berjalan pada titian yang penuh tipu daya, panggilan-panggilan syahwat memenuhi kiri kanannya. Jebakan-jebakan pseudosurgawi yang melenakan. Sehari berjalan dijalur yang sejati, mungkin terjatuh esok hari, lalu lusa berbelok lagi, selajutnya lupa pada jalan pulang lagi.

Namun apakah ini akan membuat kita mundur, merasa ciut pada tantanganya, lalu hendak menimbang ulang pada keputusan untuk bertahan? Maka ketahuilah olehmu wahai putra dan putri peradaban, mereka yang meninggikan azamnya bagi kemuliaan, mereka yang telah menegakkan keyakinannya untuk kejayaan, tentu tak ada alasan demi membatalkan pilihan untuk tetap setia pada komitmen itu.

Mereka sungguh telah mengetahui bahwa tidaklah teguh sebuah iman sebelum ia diuji, seperti kejujuran barulah disematkan ketika ia berani berkata tidak pada godaan-godaan yang mencederai komitmennya, sebagaimana keihklasan yang murni karena ia bertahan untuk tidak memilih jalan kecuali yang disiapkan untuknya, dan juga semua komitmen idealis lainnya tegak setelah melalui ujiannya masing-masing.

Maka seharusnya pun kita di sini juga masih tetap gagah berdiri, bangga pada jalan yang telah kita pilih. Sebuah jalan yang tak lagi boleh ditawar, jalan yang kita mengerti akan membawa pada ketinggian maqam di sisi-Nya. Dan semoga kita bisa istiqomah untuk tetap berkata tegas; “…aku akan bertahan pada pendirian ini, bahkan bila semua orang meninggalkanku sendirian”.-n



Bunta Banggai, 20.54 Wita 16 April 2010.

Tadzkirah

Dari Ibnu Umar ra. Berkata : “ Rasulullah saw memegang pundakku dan bersabda, Jadilah engkau seperti orang asing atau penyeberang jalan.”
Ibnu Umar berkata, ” jika kamu berada di sore hari, jangan engkau menunggu pagi hari, dan jika engkau di pagi hari janganlah menunggu sore hari, ambillah persiapan saat engkau sehat, untuk menghadapi masa sakitmu dan saat hidupmu untuk sesudah kematianmu” ( HR Bukhari)



Kita hanyalah seorang pendatang, yang niscaya akan kembali jua ke sumber yang azali, ke
rumah tempat pulang yang abadi. Entah itu esok hari, ataukah sekian puluh tahun lagi, bahkan adakah yang menjamin kalau nafas berikutnya masih milik kita lagi? Tak ada yang tahu.
Kita hanyalah peziarah yang singgah tak lama di tempat ini, datang dengan sebuah perjajian yang sungguh tak ringan, hadir dengan membawa amanah langit, tugas penghambaan sekaligus amanah kepemimpinan.

Tak mudah memang perjalanan ini, sebab ujian datang pada seluruh bagian dari hidup kita, hadir pada setiap gerak dan bahkan pada diam kita. Tarikan-tarikan yang menggoda untuk berlepas diri dari jalan idealis itu selalu tampak menggiurkan dan melenakan. Bahkan tantangan terbesar yang mesti kita kalahkan datang dan berdenyut bersama urat nadi kita, ialah kecendrungan syahwati.

Demikianlah perjalanan kehidupan ini, tidaklah mampu bertahan untuk setia menekuni jalan kemuliaan dan menapaki langit ketinggian kecuali mereka yang memiliki nafas keteguhan yang paling panjang. Maka perlu ada tradisi penguatan di sini, sebuah tradisi iman, waktu dimana kita berhenti sejenak, mengambil cermin kejujuran, melihat diri kita apa adanya. Menegakkan neraca dan menakar bobot kita seutuhnya. Mengukur ulang perjalanan, karya dan amal apa yang telah lahirkan. Sekaligus sebagai sarana untuk mengisi ulang kekuatan ruhiyah, untuk kembali meneguhkan azzam dan keyakinan. Karena sungguh sejatinya nilai kita dimata kebenaran adalah gerak yang kita selesaikan dalam karya dan amal, diluar itu hanyalah kesiaan.

Inilah hari kerja, waktu amal, saat berkeringat dan letih, kesempatan yang diberikan untuk menuntaskan janji agung kita sebagai hamba, untuk setia mengabdi sampai jatah nafas kita usai.
Hari ini adalah hari-hari memaknai, menyempurnakan kemuliaan, mengalahkan kejumudan, pembebasan diri dari kemelakatan terhadap dunia.

Sampai akhirnya ketika masa kembali itu tiba, kita dapat pulang menghadapkan wajah hati kita dengan berseri-seri, tanpa ragu dan tidak kehilangan nyali. InsyaAllah!-n

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al quran Surah Al Hasyr 18)

Banggai, 26 April 201