Selasa, 30 Desember 2008

Tahun Baru 1430 H; Untuk Anak-anak Jalur Gaza, Apa yang Kami Bisa Perbuat Untukmu?

“Kami tak akan meninggalkan tanah air kami. Kami tak akan mengibarkan bendera putih dan tak akan berlutut kecuali pada Tuhan. Ada darah di mana-mana, banyak yang terluka dan menjadi martir di tiap rumah dan tiap jalan. Gaza hari ini dihiasi darah. Martir itu bisa bertambah dan bisa lebih banyak lagi yang terluka. Tapi Gaza tak akan pernah hancur dan tak akan pernah menyerah," Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh (281208)

Kami t
ahu tak ada petasan dan kembang api yang menemani pergantian tahun anak-anak di negerimu, kami juga percaya tak ada arak-arakan dan konvoi pawai kendaraan berhias disambut sorak kegembiraan di jalan-jalan negerimu hari ini saudaraku. Karena anak-anak disana sedang sibuk mengurus roket pelontar dan kembang apinya adalah nyala api yang membakar tanah dan rumahmu. Di jalan jalan hanyalah arak-arakan jenazah korban kezaliman anjing penjajaah Laknatullah alaih, pawai hari ini adalah shaf-shaf yang rapat menjadi pagar hidup membentengi negeri dan izzahmu.

Maka maafkanlah kami, sungguh adalah kemarahan itu milik kami juga, kesedihan pun menjalari sekujur perasaan kami, karena kita tetap bersaudara, tangis dan darahmu adalah tangis dan darah kami juga. Sungguh ada kerinduan untuk berlari bersamamu dalam teriakan takbir melontarkan batu-batu, kami ingin merasakan kegembiraanmu bermain-main dengan hujan peluru, setidaknya kami bisa membantu membasuh dan mebersihkan lukamu dan mencium wangi darahmu.

Saudaraku, maafkan kami, yang hanya bisa menonton dari jauh. Kenapa mesti ada perbatasan antara negeri-negeri kita padahal kita sejatinya satu, satu tubuh, satu penanggungan, satu keyakinan, satu perlawanan. Maafkan kami bila baru sekedar doa kami kirimkan ke langit untukmu. Percayalah saudaraku...ada banyak anak-anak muda di negeri kami sedang menanti giliran, untuk bergabung bersama barisanmu.

Dan terus rayakan tahun baru dengan kemuliaan jihadmu, terangi langit negerimu dengan roket pelontar dan peluru-peluru yang menyala. Terus ramaikan gemuruh tiap sudut negerimu dengan dentuman bom dan sorak takbir membahana. Jangan biarkan anjing-anjing zionis itu tidur nyenyak dan merasa aman berteduh dalam rumah-rumah di balik temboknya.
Sekali lagi maafkan kami, bila baru sekedar doa yang bisa kami persembahkan untukmu saat ini. Besok, kami juga akan hadir di sana, di bumi jihadmu...Semoga.-nuas-

”Ya Rabb, teguhkanlah saudara kami, karuniakan kemenangan untuk mereka, dan hinakanlah kedazaliman penjajah itu...Amin”

Tanah Papua, 30 Desember 2008/ 2 Muharram 1430 H

Rabu, 10 Desember 2008

Selamat Hari Raya

Di sebuah Pagi

Fajar baru akan beranjak terang, hawa sejuk pagi masih manguasai suasana. Ketika lantunan takbir,tahlil dan tahmid saling bersambung dari corong-corong mesjid. Tak ada yang menyita perhatian alam sepagi ini selain suara takbir yang menggetarkan itu. Suaranya memantul-mantul di dinding dan tembok rumah, menyusup di sisi ranting dan celah dedaunan. Menyisir rerumputan yang masih basah oleh embun. Seluruh kolong langit seperti terisi oleh gemuruhnya. Berdesak-desak di atmosfer bumi, berekspansi ke ruang semesta yang luas, terus mengisi ruang galaksi-galaksi yang asing, sampai jauh ke rongga kosmos yang sepi nun di sana, di jarak tahun cahaya.

Kurasakan pagi ini, gemuruh takbir, tahlil, dan tahmid yang menggetarkan itu, rupanya menyusup juga jauh ke dalam, di ruang jiwa, menyalakan suluh di bilik-bilik kesadaran yang dalam. Bergetar lisan menyambut ungkapan-ungkapan indah itu. Menyentuh kehalusan yang membuat luluh.
Pagi-pagi ketika semesta khusyuk menyimak takbir, ada hati yang berembun, sejuk, bening mengalahkan kaca-kaca.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…Laailaha illallah Allahu Akbar…Allahu Akbar Wallillahil Hamdu.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1429 H, buat sahabat-sahabat seperjalanan.

Tanah Papua, November 2008

Kamis, 04 Desember 2008

Kabar Kematian

Jauhilah olehmu maksiat yang membuat wajahmu kehilangan cahaya, dan waktumu kehilangan berkah.

Seperti apa rasa sakit dari sebuah kejatuhan, kegagalan, atau sebut saja ini adalah kekalahan yang telak? Seberat apa rasa sakit dari sebuah kejatuhan, kegagalan atau kekalahan yang mengundang kematian?
Meski kejatuhan tak selalu mematikan, sejatinya kejatuhan harusnya memberikan rasa sakit, karena ia menghadirkan luka.Kecuali bila kejatuhan itu adalah laku yang konsisten yang mengakrabi keseharian, maka boleh jadi resistensi akan rasa sakit adalah sebuah pesan kematian dalam bentuk yang lain.
Lalu apa yang terjadi hari ini, wahai diri?
Semoga aku salah membaca kabar kematian itu dari wajahmu.-nuas-

Papua, akhir Tahun 2008

Jalan Pulang Itu

Keimanan, kejujuran, keihklasan, dan semua komitmen idealis berikutnya adalah pilihan yang tak bias lagi ditawar. Namun, tatkala janji itu dimulai maka bersiaplah akan ujian pada komitmen kita tersebut.
Tidaklah teguh sebuah iman sebelum ia diuji, seperti kejujuran barulah disematkan ketika ia berani berkata tidak pada godaan-godaan yang mencederai komitmennya, sebagaimana keihklasan yang murni karena bertahan untuk tidak memilih jalan kecuali yang disiapkan untuknya. Demikian pula jalan pulang, langkah untuk menyusuri jalan-jalan keimanan, kejujuran, keihklasan, dan jejak tapak spritualisme lainnya, tak jua luput dari ujian.
Jalan pulang adalah kemestian, walaupun...
Jalan pulang itu ternyata meletihkan, ia adalah kelelahan yang tak selesai. Kerja yang tak habis-habis. Karena hidup berjalan pada titian yang penuh tipu daya, panggilan-panggilan syahwat memenuhi kiri kanannya. Jebakan-jebakan pseudosurgawi yang melenakan. Sehari berjalan dijalur yang sejati, esok terjatuh lagi, lusa berbelok lagi, selajutnya lupa pada jalan pulang lagi.
Jalan pulang adalah keharusan, meski...
Jalan pulang itu ternyata menyibukkan, setiap saat harus selalu dikuatkan, senantiasa harus dibela, tak kenal waktu dan tak peduli medan, ia harus selalu dimenangkan dari tarikan-tarikan yang menggodanya.
Jalan pulang itu adalah kerinduan yang begitu sungguh pada keindahan dan ketinggian yang sempurna, sekaligus kesedihan yang meratapi kehinaan dan kekalahan yang paling bawah.
Jalan pulang itu adalah komitmen iman, kejujuran pada janji sendiri, keihlasan yang panjang dan tak berhenti
Jalan pulang itu mengawinkan al wala` dan al bara`
Jalan pulang itu adalah kesabaran untuk terus bertahan.
Jalan pulang itu adalah keberanian untuk mengalahkan ketakutan-ketakutan manusiawi,
meruntuhkan kekuasaan naluri.
Sebab...jalan pulang itu adalah jalan untuk bertahan di titian taubatan nasuha.-nuas-

Papua, November 2008

Stasiun Perjalanan

Perjalanan hari ini tiba lagi di sebuah penghentian, sebuah jeda yang melayangkan ingatan pada kenangan waktu itu. Ketika langkah pertama kali dilesatkan, ada perasaan yang teraduk, jelas dominan mengiringi awal gerak itu. Sampai di titik ini takdir telah menjawab dengan sangat ramah semua harapan dan cemas.
Sebuah penghentian yang layak menjadi tempat menata ulang prasangka terhadap takdir. Sekali lagi tak ada yang terlewatkan, bahwa semua kerja takdir adalah kerja hikmah. Tak ada yang kosong terisi kesiaan. Maka di penghentian ini, tak ada yang lebih layak di upayakan, kecuali men yampaikan rasa syukur dan terus menyempurnakan rasa syukur itu kepada sang pemilik takdir.
Di sebuah penghentian, dengan hati seringan kapas, ku tersenyum kepada takdir. Subhanllah...walhamdulillah.-nuas-

Bandara Domine Eduard Osok Sorong, 031008

Eksekusi Itu

Catatan untuk Eksekusi Mati Amrozi Cs: Perlawanan Belum Berakhir.

Hampir semua perhatian tertuju pada tiga sosok yang disebut-sebut hari-hari ini.
Tiga laki-laki yang tak segan menantang maut. Tiga laki-laki yang pada sorot matanya terpendam keteduhan sekaligus keteguhan yang sungguh-sungguh. Di matanya adakah kita menjadi percaya bahwa merekalah para pelaku bom bali I yang menggentarkan dunia itu?
Maka rasakan apa yang tersimpan di balik dadanya, pada gelegak perasaannya:
”Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala...dibentur di tembok-tembok Palestina...jeritmu wahai bayi-bayi Afganistan...yang memanggil-manggilku tanpa lengan...dieksekusi bom-bom jahannam...milik setan Amerika dan Sekutu...saat ayah bundamu menjalani Ramadhan!
Ini aku, saudaramu...ini aku, datang dengan secuil bombing...kan kubalaskan sakit hatimu...kan kubalaskan darah-darahmu...darah dengan darah...nyawa dengan nyawa...qishash!”
Inilah sebuah serpihan hati yang turut berdarah dari salah satu laki-laki itu ( Imam Samudra) meneteskan duka dan amarah lewat pekiknya di atas. Kemudian tahulah kita kenapa ada bom yang bicara, mengapa harus ada darah yang mawarnai tanah. Ini hanyalah reaksi atas sebuah aksi, akibat atas sebuah sebab yang mendahului, hanyalah sebentuk perlawanan terhadap kedzaliman global yang bernama Amerika dan Sekutunya. Tentulah tak adil hanya menuding dan menghakimi Amrozi Cs tanpa mengurai tuntas pokok masalahya. Bahwa masalah bom Bali hanyalah ledakan dahsyat di Legian sana, ini tentu keliru. Karena ledakan yang terjadi di Bali atau tempat lain hanyalah rentetan bom waktu yang ditanam dan dilempar Amerika dan sekutunya di Palestina, Afganistan, Irak, atau ditempat lain, Amrozi Cs hanya ”memindahkan” bomnya ke Indonesia dan luluh lantaklah Bali. Bila Penjajah itu melempar dunia Islam dengan bongkahan batu, Amrozi Cs tak lebih hanya membalasnya dengan secuil kerikil. Dan karena secuil kerikil itu, mereka harus di tembak mati dan diberi pangkat teroris?
Terlepas dari benar atau salah jalan perlawanan yang ditempuh olehnya, setidaknya mereka telah menitipkan keberanian kepada sekian jiwa anak-anak muda di negeri ini, untuk terus melawan dan berkata tidak pada tirani. Tubuh-tubuh itu tertembus peluru, namun semagatnya tak pernah mati, ia akan terus hidup untuk menyalakan perlawanan hingga para tirani itu tak kan pernah tidur nyenyak di singgasananya.
Mereka telah mengajarkan cara mati yang memukau, cara mati dengan tersenyum, cara mati yang menggenggam keteguhan sampai diperbatasan.
Dan dengarkanlah kembali kata-katanya,
”aku hanyalah seorang pemuda tua yang tengah belajar arti sebuah derita dan kesakitan, makna sebuah luka dan perlawanan, maksud sebuah keteguhan dan kesabaran...aku kuliah dari remaja-remaja itu, yang tumbuh dalam kampus bernama Universitas darah `Palestina. ”Laboratorium Tarbiyah” tempat mereka bereksperimen dalam kesamaptaan iman, berhasil mengubah batu menjadi mitraliur,mengubah batu menjadi peluru"
Jadi sejatinya hegemoni dan kezaliman itulah yang melahirkan Amrozi dan kawan-kawannya. Selama Palestina masih terjajah, Afganistan tetap terzolimi, Irak tak henti berdarah, dan dunia Islam terus terampas kemerdekaanya, maka sungguh Amrozi Tak pernah mati, karena akan bangkit Amrozi Cs yang lain, yang lebih berani, lebih hebat, dan lebih tangguh. Karena perlawanan belum dan tak kan pernah berakhir. Sungguh, perlawanan itu niscaya. -nuas-

Papua, November2008

Catatan Perjalanan; Serpihan Kenangan di Batu Merah

Berdiri aku malam itu, di depan pusara para syuhada, di bawah siram sinar rembulan. Malam yang hening dibalut wangi kembang semerbak. Di atas bukit di sebuah situs yang menjadi saksi atas sebuah peristiwa besar yang diberkahi. Tanah Ambon terpilih, sebagai bumi jihad, orang-orangnya terpilih sebagai tentara-tentara Allah yang merindukan syahid.
Berdiri aku malam itu, takzim penuh hormat, pada mereka yang telah terpilih yang sedang beristirahat tenang di balik pusara. Mendengarkan seoarang kawan bernostalgia dengan hari-hari yang diberkahi. Saat malaikat-malaikat melesat-lesat hadir menjemput jiwa-jiwa perindu. Saat takbir membakar semangat dan menyulut kerinduan lalu tak bersisa lagi rasa takut pada kematian. Saat karomah-karomah menakjubkan hadir di bumi jihad itu.
Setelah malam itu, aku berkali lagi, datang di depan pusara para syuhada, bersama teman yang sama kembali mengulang nostalgia seolah tak habis-habis, tentang heroisme, tentang senjata, tentang luka dan darah. Tentang kematian yang indah.
Sebuah serpihan perjalanan yang amat berkesan, aku mengenangnya kembali hari ini, walau tak bersama teman, dan tak di depan pusara para syuhada lagi. Masih terasa getaran yang sama, gejolak yang sama, kerinduan yang sama, seperti saat takzim didepan pusara dan berdoa semoga Allah menjemput kematian ini juga dengan syahid. Amin...
-nuas-



Aimas-Sorong, November 2008

Sebuah Catatan Kecil di Hari Pahlawan

Memperingati Hari Pahlawan: Siapakah Pahlawan?

Selalu ada ruang untuk mencipta kerja-kerja kepahlawanan, Sebagaimana lembar sejarah
selalu menyisakan tempat untuk ditorehkan cerita haru biru dan heroikme perjuangan.
Ruang kerja bagi pahlawan adalah setiap jengkal di mana ia memijak tanah dan menjunjung langit. Ruang sejarah untuknya adalah seluruh jatah umur yang disiapkan baginnya. Di ruang itulah pada dimensi tempat dan waktunya ia mencipta keabadiaanya. Melahirkan karya-karya melegenda yang melampaui umurnya bahkan menembus batas generasi. Di saat itu ia melegenda, ia menyejarah, saat ia menuntaskan karya kepahlawanan.

Engkaulah Pahlawan
Tak perlu menanti musim revolusi sebagai latar perjuangan untuk menjadi pahlawan- meski tak bisa dipungkiri saat-saat pertarungan fisik memang adalah musim yang subur melahirkan para pahlawan- Tiap potongan sejarah punya pahlawannya, tiap musim ada bintangnya.
Begitu juga saat ini, kebutuhan peradaban akan pahlawan tak pernah surut. Di setiap bidang di segala lini kehidupan. Karena sang pahlawan adalah sosok yang menjaga dan memelihara keberlangsungan sebuah nafas peradaban.
Maka engkaulah pahlawan, bila engkau adalah guru atau ilmuwan, mendidik sepenuh hati, membangun anak bangsa dengan segenap dedikasi, jujur dalam hati untuk mengabdi, layaklah engkau menjadi pahlawan. Bila engkau seorang dokter atau paramedis, menolong sesama dengan penuh kasih, mengurangi penderitaan atas nama kemanusiaan, juga engkaulah pahlawan. Bila engkau adalah petani, nelayan, buruh ataukah sudagar, yang bangun pagi-pagi dengan penuh syukur, bekerja tak kenal lelah, jujur sepanjang hari, maka jadilah pula engkau pahlawan. Terlebih bila engkau adalah aparat atau politisi yang bekerja mengurusi rakyat, bersungguh-sungguh melawan ketidak jujuran, ketidakadilan, pembodohan, dan pemiskinan. Maka sungguh layaklah pula engkau menjadi pahlawan.

Jangan Sok Pahlawan
Tak perlu ada risau bagi krisis yang terus melanda bangsa ini, bukankah takdir sejarah bangsa-bangsa besar dibangun di atas perjuangan dan kesusahan. Namun yang perlu kita cemaskan bila negeri ini dilanda paceklik pahlawan. Sebab keruntuhan sebuah bangsa tak berjarak dengan kepunahan pahlawannya.
Dan tentu wajar bila kita risau, sebab hari ini justru berhamburan di negeri ini sosok yang Sok Pahlawan, berteriak mengatas namakan rakyat untuk membuncitkan perut sendiri. Mereka pahlawan kesiangan yang kurang ajar dan sepantasnya dihajar dan ditembak mati di tengah lapangan kota.

Lalu bagaimanakah kita, engkau dan aku?. Inilah lembaran jaman kita, di sinilah ruang karya kita untuk menyejarah. Bila tak kau jawab panggilan kepahlawanan itu, maka aku akan tetap menjawabnya, meski sendirian. -nuas-

Sorong Papua Barat, November 2008

I`tiqaf

Seolah kusaksikan malam ini, sejuta doa tersambung ke langit. Sejuta harap melesat berpendar di antara bintang-bintang, menembus kegelapan, riuh di antara kesenyapan malam. Doa yang dihantar dengan gemuruh isak tangis, harap dan cemas berpilin laksana pita yang terjulur menggapai-gapai ketinggian. Khalwat yang khusyuk, menentramkan ekspresi jiwa-jiwa.
Sepertiga malam terakhir, di langit bumi, Dzat yang Maha Agung menyambut doa-doa yang terpilin, mendekapnya dalam Ridho-Nya. Di sepertiga malam terakhir, sejuta pengharapan diijabah dengan tuntas. Rabb berkata ” Berdoalah kepada-Ku, maka akan Kukabulkan”


Sepertiga malam terakhir, Beranda Masjid Al Akbar Sorong
28 Ramadhan 1429 H

Surat Untukmu

Di tepian Selat Sele Kasim Marine Terminal (KMT)
19 Ramadhan 1429/19 September 2008

Dengan segala hormat
Kusampaikan salam atasmu, juga kerinduan yang tak pernah layu. Dari negeri yang jauh ku tulis surat ini agar selesai gelisah yang mengganggu. Tapi mampukah kalimat ini merayu resah agar segera berlalu.
Kadang aku tertegun manatap tanah yang ku pijak, tanah yang menyadarkan diri, bahwa kini telah jauh perjalanan, perjalanan yang membuatku berjarak darimu, sebuah jarak yang jauh sungguh.
Aku tak juga tahu di mana berhenti langkah ini, atau kapan ia berhenti, namun sungguh ku berharap takdir kembali mempertemukan kita, di sebuah perjamuan mulia, liqoat yang diliputi para malaikat. Tempat dialog jiwa kita berlangsung sungguh-sungguh, arus batin kita menderas bersama, ucapan-ucapan mulia terlontar membesarkan semangat.
Sendiri aku mengenang di sini, di tepian laut yang tenang setelah kerja yang melelahkan. Saat itu, di tepi danau yang indah di kota kita, di bawah naungan pohon Angsana, pada sebuah senja yang cerah, disempurnakan dengan kalimat-kalimat yang indah mengantar ifthor bersama. Ataukah ketika perjalanan yang penuh semangat di iring nasyid perjuangan menjawab panggilan jiwa untuk sebuah misi kemuliaan. Tentu juga kau juga masih ingat waktu kita berkeliling kota, berbincang di bawah menara, tentang cinta dan cita-cita, atau di tepian pantai memandang cakrawala yang indah. Dan tak mungkin ku lupa saat engkau pamit hendak pergi, ku kuatkan diri tersenyum walau hati ini menangis dan ketika saatnya aku berangkat ku minta sebuah nasihat yang akan kujadikan kekuatan, kaupun berpesan dengan dalam ” bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berpijak”.
Tak akan kulupa saat-saat bersamamu, karena kenangan itu seperti obat yang menawarkan rindu atau seperti nyala api yang menyuluh jalan, dan panasnya membakar semangat agar ia terus bergelora.
Dan kutulis surat ini, karena ku tak tahu, apakah takdir akan memenuhi harapan ini untuk bersua lagi denganmu suatu hari kelak. Bila kau membacanya, anggap saja kita sedang bercengkrama dalam dialog dari hati ke hati. Agar kau bisa membaca arus batinku, bahwa sungguh aku mencintaimu karena Allah.
Semoga Allah menjagamu selalu.-nuas-

*Untuk sahabat-sahabat yang luar biasa.
Tanah Papua, 2008
.