Selasa, 09 Februari 2010

Pohon di Tepi Jalan

Aku ingin seperti pohon di tepi jalan, tumbuh ia dari benih unggulan, berasal dari hutan yg jauh, bijinya diterbangkan oleh burung pengelana, lalu jatuh ke semak tak bertuan, pada sebuah tanah yg dipilihkan Tuhan. Beranjak besar ia oleh asuhan alam, diguyur hujan dan di panggang matahari, musim telah membimbingnya menjadi kuat, akarnya menukik ke pusat gravitasi, batangnya kokoh seperti pilar istana, dahan rantingnya layaknya tangan-tangan yang berdoa gemulai menghadap ke langit. Sekali dua kali ia patah, namun ia tak menyerah, berganti dahan yang lebih indah dan lebih kuat. Daun-daunnya rimbun bergoyang seperti bernyanyi, lebih tepatnya berdzikir; bertasbih memuji.

Aku ingin seperti pohon di tepi jalan, bebas berdiri berdamai dengan kehidupan, menghirup udara yang bersih, menghisap air dan saripati yang suci. Merdeka tanpa seteru dan sengketa. Bersahabat dengan siapa saja. Bila hujan datang ia tahu bahwa itu sumber kebaikan, bila kemarau tiba ia sadar itu kesempatan untuk belajar bertahan, bila badai berkunjung ia mengerti alam hendak mengajarnya menjadi kuat, bila petir menyambar ia paham saatnya belajar tentang keteguhan dan keberanian. Bahwa setiap kehendak Tuhan datang dengan sebuah alasan, datang untuk membawa kebaikan.

Aku ingin seperti pohon di tepi jalan, bersyukur dan berbahagia atas kehidupan. Senang bila burung berkunjung, gembira bila musafir berteduh, tak mengusik serangga yang membuat sarang pada rantingnya. Hadir ia untuk memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan. Akar dan kulitnya adalah obat, dahan dan rantingnya serba guna, daunnya menjadi pabrik oksigen yg begitu penting, bunganya adalah hiasan, juga buahnya lezat bukan mainan. Bahkan bila mati pun ia kembali menjadi pupuk bagi alam. Ia adalah sumber inspirasi kebaikan.

Aku ingin seperti pesan ayahanda Abu Bakar As Siddiq; " Hiduplah engkau seperti pohon yg tumbuh di tepi jalan, dilempari ia dengan batu, lalu dibalasnya dengan buah." Bagaimana denganmu kawan?-n

Untuk Kawan-kawan di Kejauhan

Ada yang menyatukan kita, bukan darah, bukan pula daerah, atau seluruh ikatan tradisonal yang ringkih itu. Tapi sebuah ikatan yang melampaui itu semua. Kita berjarak pada awalnya, tak bersinggungan pada mulanya. Sampai kita sadar bahwa kita sama-sama gelisah akan kenyataan kekinian. Kesatuaan perasaan, gerak pemikiran, dan yang paling penting adalah kesemaan gejolak batin yang kemudian membawanya pada arus yang searah, yang walau masih belum deras namun sebuah kenyataan bahwa gerak itu telah dimulai, dan semoga terus menderas jadi gelombang.

Tapi ada saat bekerja bersama-sama, dan ada waktu perjalanan harus dilanjutkan kembali, berpencar ke medan yang berbeda, untuk menyerap sari pati kehidupan yang lebih banyak, dan melengkapi mozaik-mozaik takdir yang lain, dan tentunya selalu berharap bahwa semua perjalanan ini adalah ikhtiar untuk menggenapkan pengabdian kepada-Nya. Dan pada akhirnya kita telah paham bahwa kepergian dan keterpisahan jarak bukan lagi musabab yang boleh membuat renggang kebersamaan, sebab sejatinya “kekitaan” kita terletak pada kebersamaan menanggung kehendak cita-cita dan jalan panjang perjuangan.

“ Ia adalah gerak yang tak kenal henti. Ia adalah keteguhan tak kenal menyerah. Ia adalah bukti kejujuran pengakuan siapapun yang mengaku bertuhan Allah” (ust Rahmat Abdullah. Alm)

Salam Hormat dan rindu kepada seluruh Kawan seperjalanan tempat kami berguru tentang banyak hal, yang kini berpencaran dan berjauh-jauhan.-n

Makassar, Januari 2010.

Lima Tahun Bencana Tsunami Aceh

Lima tahun adalah jarak yang relatif cukup panjang untuk sebuah kenangan, namun tetap saja, bila ia hadir kembali, terasa segala kenangan itu seperti masih sangat basah, sebasah tanah yang belum kering dibasuh tsunami atau basah aroma kesedihan yang menggenang kuat ketika tiba pertama kali ke tanah itu.

Perjalanan ke Aceh pasca tsunami lebih dari sebuah perjalanan biasa, ini adalah perjalanan spiritual secara pribadi, ada banyak pelajaran dan hikmah dari peristiwa maha dahsyat itu. Tak ada hati yang tak bergetar menyaksikan keadaan di sana kecuali hati itu benar-benar telah mati. Ini tentang ke dahsyatan kekuatan Tuhan, tentang keteguhan jiwa, juga tentang persaudaraan yang dibuktikan.

Bertanya pada anak-anak Aceh sedahsyat apa ketika petaka itu datang, cukuplah rasanya mereka mewakilkan kalimatnya, “ kami mengira pagi itu kiamat telah tiba”. Setelah tanah bergoyang kemudian sapuan gelombang tsunami tiba-tiba datang tanpa permisi, sekejap saja dalam gemuruh yang mengejutkan, pokok-pokok kayu patah, tiang-tiang sepakat bersujud, rumah dan gedung rata hanyut pergi jauh, jembatan rubuh dan menara-menara jatuh terpilin, siapakah yang lebih kuat dari itu. Setelah itu semua kemudian tersentak lagi pada kenyataan yang memilukan. Pada kehilangan yang dalam, saat semua pergi begitu cepat, hanya sekejap bahkan tak ada yang sempat berpamitan. Melihat sisa-sisa kejadian itu, bergetar dan mengakui ini hanyalah pekejaan Tuhan, kekuatan dahsyat yang tak tertandingkan.

Peristiwa ini Juga bertutur akan keteguhan jiwa, tentang kehilangan yang amat menguncang. Bapak yang ditinggalkan cinta dan kebanggaannya, sang istri dan anak-anaknya sekaligus, ibu yang kehilangan buah hatinya, dan anak yang bertahan dalam kesunyian hidupnya yang tiba-tiba karena ibu bapaknya pergi bersama tsunami entah kemana. Terkenanglah suatu sore di camp pengungsi Aceh Besar Gue gajah, ketika bertemu dengan seorang bapak yang berusaha memenangkan kesabaran dan berkuat untuk merapikan kembali sisa-sisa harapannya, saat tiba-tiba seluruh anggota keluarganya hilang, istri dan anak-anaknya, serta semua harta kepunyaanya, kemudian tersisa hanya ia sendiri. Ia memang lebih banyak diam, tapi ia juga tak ingin larut dalam kesedihan yang berlebih. Dan sang bapak tak menyerah, ia tak ingin rasa putus asa mengalahkan harapan dan imannya. Entah apakah kita sanggup sekuat itu?

Masih di tempat yang sama saat berbincang dengan seorang ibu, ia mengenang lagi, pagi itu ia sedang ke pasar membawa jajanan pisang gorengnya, ketika peristiwa itu terjadi dan semuanya berlangsung dengan sangat cepat, tiba-tiba, panik dan kacau balau, kemudian keajaibanlah yang membuat ia akhirnya bisa selamat dari amukan sang gelombang. Setelah itu tak pernah ia berjumpa lagi dengan anak-anaknya, dua minggu setelah tsunami waktu kami berbincang-bincang, setiap hari ia masih terus mencari-cari kabar dan tetap berharap ada berita baik yang membawa pesan tentang anak-anaknya. Meski kabar itu tak kunjung datang, namun ia tetap bersabar bahkan ia masih mampu meneguhkan dirinya, bahwa ia harus kuat, bukan hanya dirinya bahwa ada banyak yang lain sepertinya, masih lekat bagaimana ibu itu kemudian tersenyum diakhir penuturannya, justru sayalah yang menangis mendengar tuturnya yang menggetarkan. Mereka sungguh kuat.

Bahwa kemudian ada satu dua yang terpuruk dalam kesedihan, menyerah pada nasib, namun kenyataannya mereka dominan adalah orang-orang yang teguh meninggikan keyakinan. Sungguh percaya akan kebiksanaan Allah pada setiap keputusan-Nya. Berserah sepenuhnya pada rencana-Nya. Di sinilah sebuah kenyataan dimana kesabaran menemukan orang-orangnya.

Dan tak sekedar itu, bahwa peristiwa ini telah membangkitkan solidaritas kemanusiaan yang sungguh mengagumkan, mungkin belum pernah semangat persaudaraan tersentak sedemikian kuat dan begitu massif di negeri ini dari ujung negeri terjauh sampai di pelosok, bantuan mengalir begitu ringan, tanpa pikir panjang, dan tak dibatasi lagi oleh sekat suku, agama, dan warna kepentingan. Sampai kemudian bantuan menumpuk hingga berbulan-bulan di posko dan pelabuhan akibat begitu banyak bantuan yang terkumpul. Demikian juga relawan yang datang mencurahkan apa yang bisa diberikannya, dengan segala macam spesifikasi dan spesialisasinya. Jadilah kota-kota di Aceh saat itu seperti kota relawan, setiap arah kita memandang hampir selalu saja ada relawan berdiri di situ. Bila peristiwa ini adalah ujian akan ikatan dan rasa persaudaraan kita, artinya kita telah berhasil melampaui ujian dan membuktikan rasa itu, satu rasa satu penanggungan.

Demikianlah lima tahun telah berlalu namun setiap kenangan pada hari-hari itu masih saja terasa begitu dekat. Pada bocah-bocah bermata riang di tenda-tenda pengungsian yang belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi ketika berpesan dikirimkan baju pramuka saat kami berpamitan akan pulang, juga pada seorang ibu yang mohon dihadiahi sebuah nama untuk bayinya yang lahir dibawah tenda yang sungguh tak layak. Atau pada kenangan saat hadir berdiri di sisi pantai Lokh nga di sebuah pagi yang pilu, berdiri di antara reruntuhan dan jenazah yang belum dikubur. Angin di sana hening, entah ia turut bersedih atau mungkin juga hanya mengalun pelan berzdikir, bertasbih membelai pohon dan tiang-tiang yang rubuh bersujud mengalah. Dan pada semua ‘kekalahan’ itu terbaca terang kalimat Tuhan, bahwa sungguh tak ada yang berhak merasa besar selain-Nya, dan hanya kepada-Nya lah berserah dan kembali segala sesuatu.

“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa…” ( Al qur`an Surah Ar- Ra’d : 15)

Dan kini lima tahun pasca Tsunami, semoga Aceh kita telah jaya kembali.-n


“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (Al qur`an Surah As-Sajdah : 15)


Banggai, Awal Januari 2010.

Kemanakah Negeriku Berlabuh?; Sekedar catatan Kecil Akhir Tahun

“ …
Tanah pertiwi anugerah ilahi , jangan ambil sendiri
Tanah pertiwi anugerah Ilahi, jangan makan sendiri

Aku heran, aku heran
Satu kenyang, seribu kelaparan
Aku heran, aku heran
Keserakahan diagungkan…”(Perahu Retak; Franky Sahilatua)


Bayi-bayi yang lahir hari-hari ini rupanya akan menangis lebih keras, sesak menyaksikan ulah bapak-bapaknya yang sungguh tak lucu, atau jangan ditanya bila ada yang memilih untuk tak menangis sama sekali serta lebih suka untuk tak membuka mata selamanya, tak ingin menjadi saksi kepalsuan yang begitu rupa, drama murahan para aktor antagonis, berbual dan bertingkah setiap hari.
Inilah kenyataannya, kita terpuruk sebagai bangsa. Terjajah oleh kepentingan untuk membuntingkan perut sendiri, menggadai kehormatan dan meloloskan rasa malu. Menggauli kenistaan disiang hari tanpa rasa risih dan peduli. Alamat apakah ini?!

Sementara segelintir yang masih bersih disakiti dan dipaksa masuk bui, difitnah dan dizalimi. Lalu terang di sana para pelacur kekuasaan asyik bertransaksi berapa takaran keadilan dihargai. Neraca keadilan tak lagi berpihak pada kebenaran tapi telah dipalingkan kepada pemilik nominal rupiah yang tertinggi.

Entah sejak kapan tragedi itu bermula, ketika korupsi menjadi kelaziman yang teramat biasa, kolusi dan praktek suap tak lagi dianggap sebagai aib, tindakan amoral dan penyakit sosial dilanggengkan hanya dengan sebuah alasan sebuah keniscayaan peradaban yang tak bisa lawan. Lalu masih pantaskah kita bertanya bila musibah mendera begitu rajin, dan masih sempat pula mereka mencela Tuhan sebab Dia tega, ujarnya demikian. Pertanda apakah ini?!

Ramai pula berkuasa sang komparador bermental hipokrit, berlagak sok pahlawan namun tega menjual bangsa kepada penjajah, maka jadilah negeri yang kaya raya terjerat hutang yang tak kunjung lunas terbayar, kekayaan alam yang melimpah di bawah lari keluar negeri meninggalkan pribumi mengigit jari dan kekurangan gizi, sungguh tak lucu negeri penghasil energi tak berdaya dilanda krisis energi, aset strategis dijual murah sampai makhluk mikro bernama virus pun dijajakan. Kehormatan dan kedaulatan digadai.

Dan kita terus saja bermimpi pada generasi yang akan mewarisi sejarah ini, sebagai sandaran harapan untuk membangun negeri ini kelak, namun apa yang terjadi bila sekolah tempat mereka membenihkan inspirasi dipenuhi dengan praktek manipulasi. Sungguh kita menyaksikan sekolah-sekolah anak negeri hari ini ramai memproduksi insan-insan yang lemah intregritas diri. Bila ini tak berhenti dua puluh sampai tiga puluh tahun kedepan mengharap negeri ini akan bermartabat serta bebas dari moral yang berpolusi masihlah sebatas mimpi.

Lalu terdengar aneh bila seorang anak muda yang memilih bertahan dan tak ingin melakoni perilaku suap dan korup, seperti halnya seorang anak belia di bangku sekolah yang menasihati gurunya saat ‘berderma’ membagikan jawaban saat ujian. Siapakah mereka? Namun sejatinya merekalah anasir perubahan untuk masa depan yang gemilang, mereka yang tegar bernafas ditengah keruhnya udara yang dipenuhi toksin, menjaga imunitas diri demi melawan penyakit zaman yang telah edan. Dibutuhkan keteguhan untuk mendukung mereka menjadi bilangan dominan, agar bisa menggantikan dan mempersilahkan bapak-bapaknya mundur saja yang hanya bisa berpidato penuh retorika dan sibuk memoles citra diri, terlebih lagi para sepuh yang menyebut dirinya wali amanah tapi aslinya hanyalah mafia pelaku durjana.

Kita tak ingin bahtera besar bangsa ini karam sebelum berlabuh, adalah ditangan kita untuk mengawal perjalanan agar kelak tiba di tanah harapan. Memberi apa yang kita punya, bekerja apa kita bisa. Bukan menjadi penumpang yang justru merusak dan membuat retak dindingnya. Kita masih punya waktu untuk berbenah diri, sebelum bahtera besar bangsa ini benar-benar pecah lalu karam.Kita akan membawa bahtera besar bangsa ini berlayar gemilang seperti bahtera nabi Nuh menaklukkan badai. Kita bisa!-n
“…
Perahu negeriku, perahu bangsaku
Jangan retak dindingmu
Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu
Jangan terantuk batu…” (Perahu Retak; Franky Sahilatua)

Bunta-Banggai, Penghujung Tahun 2009

Menyambut Muharram

Di mana sinar Matahari jatuh, di sana benih Islam akan tumbuh. Hari ini kalimat itu telah menjadi kenyataan. Di setiap sudut bumi, kalimat Tayyibah bergaung dari lisan-lisan yang basah oleh dzikir, dari anak benua Amerika nun di barat sana sampai ketimur jauh di pelosok Timika Papua. Dari sisi utara di lembah-lembah pedalaman Kaukasia sampai perkampungan terpencil pulau-pulau Nusantara Indonesia. Jauh dari episentrum tempat cahaya itu datang pada kali yang pertama.

Datang ia ( Rasulullah SAW) di penghujung sejarah dua kampiun peradaban, Imperium Romawi di barat dan rival utamanya sang raksasa timur Imperium Persia, tiba dengan membawa pencerahan ketika malam peradaban umat manusia tiba pada gelap yang paling pekat. Mina dzulumati ilan nur; membawa manusia dari kegelapan kepada terang cahaya. Membawa pembebasan manusia dari penghambaan kepada makhluk menuju penyerahan diri kepada Rabb semesta alam.

Sendiri ia datang pada awalnya, lalu ia meninggalkan lebih seratus ribu sahabat saat perginya, sendiri ia melawan pada mulanya, kemudian ia memimpin enam puluh delapan pertempuran setelahnya. Tak punya kekuasaan waktu datang kemudian menyatukan Jazirah arab dibawah panduannya. Pemimpin yang di cintai kawan dan disegani lawan-lawannya.

Lahir ia ditengah lingkungan yang keras, masyarakat gurun didikan alam yang ganas, bangsa nomaden yang gemar berperang, buta huruf dan tak terdidik, menyembah tuhan-tuhan yang berbilang, terbiasa membunuh bayi-bayi perempuannya, menistakan para istri dan memuja harta dan khamr. Sebuah komplikasi penyakit peradaban yang begitu kronis. Dua puluh tiga tahun genap kemudian setelah ia diutus membawa risalah, seolah tiba-tiba kita menyaksikan peradaban itu berganti wajah. Peristiwa transformasi sosial tercepat sepanjang sejarah peradaban. Ketika para penggembala dan kaum yang terpinggirkan sejarah tampil menjadi pemimpin yang begitu gemilang, bangsa yang sebelumnya hanya mengenal perang dan perpecahan menyatukan bangsa Arab dalam satu ikatan Tauhid. Supremasi iman, keadilan, kejujuran, persamaan hak, dan rahmatan lil alamin adalah karakternya.

Telah ia wariskan risalah agung ini (al Islam), yang kemudian cahayanya menerangi kegelapan di Persia, membebaskan kejumudan di Romawi, terus bergerak mencerahkan keterbelakangan di tanah-tanah yang lebih jauh. Lalu berabad-berabad kemudian cahaya ini terus bersinar, menjadi mercusuar peradaban umat manusia, maka terkenanglah Cordoba, Bagdad, Konstitinopel, Kairo dan pusat-pusat peradaban lainnya. Berlanjut terus sampai seribu empat ratus tahun lebih hingga hari ini, cahaya itu akan terus menyala, dalam diri dan jiwa kita. Tak kan padam.

Maka ucapkanlah salam serta sholawat pada lelaki agung itu; Ya Nabi salam `alaika, ya Rasul salam `alaika. Shollallahu `alaihi wasallam. -n

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At Taubah: 128)

Bunta- Banggai, Awal Muharram 1431 H/ Desember 2009

Mohon Beri yang Baru

Ya Rabbi, bolehkah kuminta mata yang baru
Pandangan yang tunduk dengan mata yang pemalu
tak mampu ia jatuh pada pandang yang tak Engkau mau
buta ia pada pada hias dunia yang menipu
sungguh ia amat suka terharu
berlinang-linang tak hendak kemarau air mata penuh galau
mengharap rahmat-Mu di waktu ashar dan di ambang shubuh

Ya Rabbi, izinkan kubertukar hati
bukan yang terbuat dari besi, keras dan tak peduli
bukan yang setajam belati, suka melukai saudara sendiri
bukan pula hati yang mati, serupa milik Qarun dan Samiri
berilah hati yang berhati-hati, hidup dan tenagai dengan iman dan welas asih

Ya Rabbi, gantikan kami pendengaran yang mengerti
paham pada arti dan tak suka berpura-pura tuli
bergetar ia saat mendengar ayat suci
luluh bertambah-tambah bila dinasihati
pendengaran yang mencukupkan diri dengan menyimak hanya yang baik-baik lagi bersih

Ya Rabbul Izzati, sungguh kami berlindung kepada-Mu
dari berpunya tapi tak ada harga;
bermata tapi tak melihat, berhati tapi mengerti, bertelinga tapi tak mendengar.
…amin.-n

Bunta- Banggai, hujan pertama di bulan Muharram 1431 H

Tak (boleh) Lelah Berharap

Harapan atau cita-cita adalah nafas sebuah gerak, dan gerak adalah syarat sebuah kehidupan yang punya makna. Tanpa gerak kehidupan layak disebut mati meski ia masih saja bernyawa, dengan kalimat yang lain bahwa hidup yang kehilangan cita-cita seperti arus sungai yang berhenti merindukan samudra, berhenti untuk mengalir, membiarkan harapannya tergenang, diam dan kemudian merusak dirinya sendiri.

Cita-cita itu adalah isyarat iman, sebab iman menghadirkan harapan, maka mereka yang paling beriman adalah mereka yang paling kuat menegakkan harapannya, memupus harapan adalah gejala terang kematian iman.

Seperti seorang ibu menyusukan anaknya sepenuh cinta karena sebuah harapan, petani turun keladang, menanam dan merawat tanamannya dengan ketekunan yang tinggi juga karena harapan, juga guru tak lelah membimbing anak-anak asuhnya di sebabkan harapan, sebagaimana seorang beriman menyempurnakan pengabdiaannya juga karena harapan. Bukankah anak kecil merangkak terjatuh dan bangkit kembali untuk merangkak karena dorongan dari sebuah harapan.

Kita semua membutuhkan harapan itu, dalam apapun ukuran kapasitas dan bentuk keadaan kita, sebagai anak muda, sebagai orang tua, sebagai penuntut ilmu, sebagai hamba Allah, sebagai rakyat biasa atau pemangku kuasa, dalam keadaan sehat, ketika lapang, dalam keadaan sakit atau di saat jatuh dan tak berdaya dan seterusnya atau bahkan para pendosa sekalipun atau disaat berjaya pun selalu membutuhkan harapan.

Harapan juga adalah obat, berapa banyak orang-orang yang didera dengan rasa sakit yang begitu berat, sampai semua pintu seolah tertutup kecuali satu yaitu memilih bertahan untuk tetap berharap, lalu kemudian harapan itu menjadi penebus atas segala deritanya, bebas dari deraan dan merdeka untuk merayakan rasa syukurnya. Ada yang menyebutnya sebagai mukjizat, namun apapun namanya, ini adalah bukti kedahsyatan harapan yang dirawat dengan baik.

Harapan pun layak disebut doa, bahkan meski ia belum lagi dipanjatkan. Bila sebuah harapan disuburkan dengan persangkaan yang baik kepada-Nya dalam keyakinan yang kuat. Maka kita seperti menggerakkan semesta untuk bekerja dalam mewujudkan harapan-harapan tersebut, sebab kita sama memahami bahwa Keputusan-Nya mengikuti persangkaan sang hamba. Maka harapan yang diyakini adalah doa yang kuat.

Dan tak ada yang ingin memungkiri bahwa harapan adalah kekuatan, ketika harapan itu ditumbuhkan maka ia akan membangunkan kemauan yang tertidur di dalam diri, dan jika kemauan itu membesar menjadi azzam (tekad) maka ia akan berubah menjadi dorongan kekuatan yang menggerakkan raga untuk bertindak. Kekuatan yang tak jarang meremehkan keletihan dan menertawakan ancaman.

Jadi hidup tanpa harapan seperti membiarkan diri sendiri memasuki ruang tak berjendela dan juga tanpa nyala lentera, gulita tiada cahaya. Hidup yang mengundang lebih awal kematiaanya sebelum waktunya tiba. Maka berpengharapan mutlak bagi kehidupan yang bermakna.

Lalu bila ternyata harapan-harapan itu lama belum juga terwujud, kita tak boleh letih berharap, tetaplah meyakininya sampai harapan kita bertemu dengan kehendak-Nya, pada waktu yang tepat menurut ukuran-Nya.

Selalu ada kabar gembira bagi mereka yang yakin, bahwa harapan yang baik tak pernah sia-sia. Wallahu alam-n


• Mengapa hari-hari ini semakin banyak orang yang mudah menyerah atas kehidupannya, memilih untuk membunuh nyala harapan itu, seperti sebuah siang ketika seorang ibu dengan usia kehamilan delapan bulan yang masuk UGD dengan percobaan bunuh diri, mengiriskan luka di atas urat nadinya.

Puskesmas Bunta, Banggai Sul teng, Desember 2009.

Tuhan Kita Selalu Baik

“ Takdir-Mu selalu misteri bagi kami, tapi kami akan selalu berprasangka baik terhadap setiap keputusan-Mu”

Sudah berapa lamakah kita menjalani kehidupan? Tak lah mungkin terekam semua pengalaman-pengalaman yang telah kita lewati. Telah sampai dimana kita memaknai perjalanan ini. Tentang kadar penerimaan dan keridhoan kita pada setiap keputusan dari Dia sang pengatur kehidupan.

Ada yang masih belia namun telah cukup dewasa dalam pemaknaan, begitu juga banyak yang telah lanjut dalam usia tapi tetap saja melekat pada dasar dan kerdil dalam cara memaknai kehidupan. Begitu banyak yang berbahagia dan tersenyum pada hari-harinya, syukur dan terimaksihnya yang tak pernah selesai atas kehidupan. Namun tak sedikit juga yang selalu gusar dan masih saja sempit dada pada setiap urusannya. Keluh dan putus asa seperti tak ingin berpisah dan mengambil jarak dari waktu dan nafasnya.

Bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, Tidaklah Tuhan menghadirkan sesuatu ala kadarnya dan berbuat tanpa alasan. Bahwa Tuhan kita bukan Tuhan yang tak cerdas dan minimalis dalam kebijaksanaanNya , Bukankah kita telah begitu hafal asmaNya, tentang nama yang merupakan sifatNya yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Sesungguhnya kita bukan tak mengerti, mungkin hanya sering lupa saja kalau Tuhan sejatinya tak berkehendak kecuali hanya kebaikan kepada kita. Bahwa Dialah yang Maha Rahman dan Rahim kepada seluruh makhluknya, kepada semua peserta jagad raya tanpa terkecuali. Maka adakah sesuatu yang menimpa kita dikarena Tuhan benci, dan ingin membuat kita merasa sakit. Tentu dengan yakin kita akan bersepakat mengatakan; tidak!

Tapi juga pada kenyataannya dalam kehidupan ini kita tak hanya akan menemukan wajah embun, melati dan atau senyuman. Hari-hari juga adalah duri, pahit dan serapah. Adakah kasih sayang Tuhan dalam musibah, atau bentuk keindahan seperti apa dalam kesedihan? Di sinilah keyakinan itu diuji.

Bahwa cara pandang orang-orang yang yakin adalah cara pandang yang telah dirasuki rahasia kelapangan dada, sebuah cara pandang yang tidak memperturutkan ketergesaan untuk harus segera menemukan alasan dari sebuah keputusanNya. Ia telah memenuhi Keyakinannya dengan prasangka baik kepadaNya yang kemudian ia rawat sepenuh kepasrahan dengan sabar.

Baginya bila sebuah keputusan-Nya (entah itu deraan,ujian, karunia, dan yang lainnya) itu datang, pasti disertakan dengan suatu alasan. Bisa jadi kita tak menemukan alasanNya saat ini, mungkin saja besok, atau sembilan tahun lagi, atau bahkan waktu akan menjawab di kehidupan berikutnya. Namun satu hal, begitu alasan takdir itu terbuka maka kita hanya akan semakin yakin bahwa setiap kehendakNya sejatinya adalah baik.

Maka dengan sepenuh kesadaran kita meyakini bahwa tidaklah Tuhan memberikan kita untuk sesuatu yang tidak mengindahkan kemuliaan dan kebaikan kita, lalu masih pantaskah kita membatalkan keagungan dan kebahagiaan hidup kita dengan menyesakinya dengan hal remeh temeh keluhan dan kecewa?

Terimalah dan sempurnakan prasangka baik kepadaNya, sebab Tuhan hanya memberi yang terbaik; “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al baqarah 216)” Wallahu alam.-n

Bunta- Banggai, November 2009

Mengenangmu

“…duhai Rabb, maafkan dan kasihilah ibu kami, ibu kami, ibu kami dan ayah kami…Amin”

Aku tak harus berpura-pura kuat, seolah haru adalah musibah yang menjadi pertanda aib yang harus kukemas rapat-rapat. aku tetap saja seperti kanak-kanak yang tak pernah beranjak besar dalam urusan ini. Selalu tak bisa membendung rasa ketika kenang itu hadir, masih sama sejak dulu. Sebab aku bukan terbuat dari karang yang teguhnya tak pernah berniat untuk mundur dan tegarnya tak lemah oleh waktu.

Jadilah mengenangmu seperti mengingat senja, saat langit memerah saga. Kenang yang membawaku ke kedalaman yang penuh sesak oleh rindu. Rindu yang bila ia datang seolah hijau menjadi layu, warna tersisa kelabu menemani sendu.

Mengenangmu adalah mengharap rembulan pada bentuk yang paling sempurna, sebab di sana terlukis wajahmu yang teduh, cahayanya berpendar keperakan seperti kalimatmu yang bersahaja yang menguatkan dan menuntun langkah selalu.

Mengenangmu adalah mengeja kembali harapan-harapan besar, yang kau ceritakan lewat sorot mata, senyum tulus, dan genggam tanganmu. Cita-cita yang kau denyutkan di urat nadi dan kau rawat dengan yakin tanpa keraguan.

Mengenangmu adalah membaca kebijaksanaan dalam diammu yang teduh, seperti lubuk yang jauh tenang namun dalam, menyusuri teduhmu seolah mengarungi wibawa dan kebersahajaan pada samudra tak bergelombang, sunyi tapi anggun.

Mengenangmu adalah gerimis yang selalu berubah menjadi deras, basah yang menghadirkan kelembutan sekaligus penguat kesadaran bahwa seorang lelaki tetap harus bertahan, bahwa tidaklah kelelahan boleh sanggup membujuk dan merayu tekad mereka, tak juga oleh resiko.

Mengenangmu adalah doa yang selalu kukemas rapi dalam harap yang sungguh. Ketika larut pada kalimat yang haru “Rabbigfirli waliwalidayya warhamhuma kama Robayaani shogira”..allahumma amin.-n

• Kepada yang pada doanya tak pernah terlepas namaku…Semoga senyum Allah untukmu selalu.

Musim Menangis

Berapa jarak yg harus kutempuh menuju rumahMu. Berapa waktu yang kubutuhkan untuk menyentuh pelukMu. Harusnya aku menggigil melihat rembulan dan gentar menatap matahari. Seperti Ibrahim kecil mencari wajahMu di situ. Namun tak diriku.

Ini lebih dari memeras darah dari arteri sendiri, atau mengiris belati di urat nadi. Terluka di tempat yg mematikan, terjatuh dan mengaku kalah. Atau malah lebih menakutkan lagi; kematian hati, kematian jati diri.

Aku ingin pulang menyusur jalanMu, sebelum aku benar-benar lupa pada jejak itu. Lama tak haru melihat ceria anak-anak yang senyumnya putih. Lama tak tersentuh pada tilawah dan ayat-ayat suci. Lama tak tergugu pada ruku dan sujud padaMu. Lama nian tak rindu pada sajadah dan basuh sejuk dzikir asmaMu.

Aku rindu menangis seperti dulu...

Mengenang Perjalanan

Kubayangkan punya rumah mungil diatas bukit, dengan beranda meghadap teluk. Dibelai angin dan dimanja cahaya. Seluruh bentang hari yang berlomba menampakkan keindahannya tampak jelas dari jendela tak berkaca.
Kemudian pergi kemana-mana, bertualang kebanyak tempat, bertemu banyak orang, merasakan banyak pengalaman, mengumpulkan kenangan dan sari pati kehidupan, lalu kembali ke rumah merenungkan perjalanan itu.

Seperti hari ini saat terkenang lagi kepingan-kepingan mozaik perjalanan itu. Perjalanan yang telah cukup usia untuk tak lagi disebut belia. Perjalanan yang telah banyak memberikan cerita yang mengagumkan, pengalaman yang mengesankan, kenangan yang tak terlupakan juga pelajaran-pelajaran yang mencerahkan.

Tentang sebuah pagi yang dingin ketika hadir berdiri di antara ilalang, menghirup aroma tanah yang masih basah dibasuh hujan, atau suatu senja di tengah samudra saat matahari beranjak turun memeluk bumi, ataukah ketika sepertiga malam terakhir di pulau kecil yang hening, sempurna khusyuk milik alam. Itulah saat jiwa seolah berdialog dengan semesta, komunikasi tersambung dengan bahasa tanpa suara, tanpa perlu kata-kata namun engkau akan mengerti, di sini, di dalam diri.

Seperti juga bila tiba-tiba berada di tengah sebuah tragedi, turut merasakan aroma kesedihan yang menggenang, larut bersama deras perasaan yang pekat dengan kecemasan, ketakutan adalah wajah-wajah kehidupan yang amat terang, kehampaan menyapu bersih harapan entah kemana. Hadir saat itu sebagai penyokong dan penguat asa serta keyakinan. Jiwa menemukan ruang yang lapang untuk berbagi.

Atau saat perjalanan menyuguhkan ketegangan, saat tak ada pilihan berpegang kepada selain-Nya. Ketika sadar begitu murni akan kebutuhan pada-Nya, diri merasa kecil tak berdaya, takluk pada kuasa alam raya yang dahsyat, padahal sungguh itu baru saja ciptaan-Nya belum lagi pencipta-Nya.

Juga bahkan ketika hening menguasai, pada sebuah jejak di tanah yang jauh, saat menatap rintik jatuh seperti sejuta anak panah menghujam teluk yang teduh, riaknya tenang dan sampan bergerak perlahan, lalu pertanyaan itu tiba-tiba hadir ”apa alasan takdir membawaku ke tanah ini”?

Namun pada akhirnya, kemanapun perjalanan itu dilesatkan, atau takdir membuang diri entah di mana, bahkan seperti apapun raut muka kehidupan berwujud, di sana, selalu saja ada yang sama. Bahwa perjalanan selalu bertutur tentang wajah Tuhan yang menawan.
Bahwa perjalanan pada akhirnya pasti berkehendak membawa kita bermuara kembali kepada-Nya.

Rumah di atas bukit di depan teluk, Perumdos Untad Palu, awal September 2009

Papua Juga (masih) Indonesia

Kami juga anak Indonesia, yang ingin berkata tentang warna bendera ini, merahnya adalah darah kami seperti putihnya juga adalah belulang kami. Maka jangan tanya kadar kesetiaan, apalagi menuding atas makar dan konspirasi. Sebab negeri ini adalah tanah tempat tertumpah darah dan kuburan ari-ari kami, yang akan kami jaga dengan perisai raga bahkan sampai mati.

Kami juga anak Indonesia, yang setia dan khidmat di bawah bendera, tak kan kami gadai kehormatan apalagi menjual kedaulatan negeri demi kepingan-kepingan materi untuk sehari dua hari. Jadi jangan tanya lagi, apalagi dengan laras dan mortir yang tak punya nurani.

Sungguh kamilah yang layak bertanya wahai bapak-bapak pemangku kuasa, tentang arti merdeka dan warna bendera. Bila kita telah merdeka, kenapa mereka menebangi pohon-pohon kayu kami, membawa pergi minyak bumi dan gas alam negeri ini, tak meninggalkan kecuali kemiskinan yang tetap lestari bagi anak-anak kami. Kemarin masih terang gunung berkilau emas tertimpa cahaya, hari ini hanyalah menyisakan lembah yang tak selesai digali kemudian dibawa lari keluar negeri. Bila warna bendera kita sama wahai bapak-bapak wali amanah, mengapa tak jua datang bersua keadilan di tanah kami, pemerataan pembangunan, keseteraan pendidikan dan kelayakan kesehatan. Kesejahtraan terlampau mewah untuk kami kabarkan pada anak-anak yang terus kekurangan gizi.

Sungguh kami harus berbuat, menentukan jalan untuk berlari mengejar mimpi-mimpi, kami punya semua, dan jenuh kami akan janji yang selalu dikhianati. Sedih hati meratapi anak-anak pucat pasi, sakit digerogoti malaria setiap hari. Tanah ini kaya raya, letihlah rasa melihat para ibu hanya menggelar buang-buah pinang dan mengurus petatas dan keladi.

Sebab kami juga anak Indonesia dan warna bendera kita sama, jadi jangan buat kami merasa di bedakan.

Timika Papua, 16 Agustus 2009

Bendera; Telahkah Kita Merdeka?

Sebuah Bendera di timur jauh
Berkibar setengah ragu
Tegak tiangnya tak tangguh
Warna merahnya pucat semu
Putihnya kelabu, berdebu

Sebuah bendera di timur jauh
Digerek pelan-pelan oleh anak setengah berbaju
Dipandu lagu pilu dan nyanyian deru peluru

Sebuah bendera di timur jauh
Berkibar menahan malu
Sebab enam puluh tahun lebih telah berlalu
Dan ia tahu, merdeka itu masih palsu.

Timur Jauh-Papua, Agustus 2009

Sejenak Kita Berhenti

Pada akhirnya perjalanan ini memang harus berhenti sejenak, jeda untuk menukar nafas, dan memberi hak pada segenap ruas buku-buku untuk rehat, sekaligus mengulang kembali pertanyaan-pertanyaan pada diri yang pernah diajukan waktu itu ketika awal beranjak pada kali yang pertama.

Sungguh suatu hal yang insani, bila kejenuhan itu hadir, keletihan yang menyurutkan tenaga, menguras semangat, serta menghapus kelembutan. Sebab kenyataannya, panorama kehidupan tak selalu indah dalam perjalanan, ada banyak tanjakan, kerikil tajam, dan tikungan yang tiba-tiba. Kejutan-kejutan, ketegangan-ketegangan, keributan riuh rendah, serta kealfaan-kealfaan diri, kesemuanya bisa menumpulkan ketajaman untuk mengutip hikmah dan memetik pelajaran.

Maka sejatinya penghentian ini adalah sebuah kebutuhan, tentu bukan sebagai sebuah pelarian untuk mengambil jarak dari kerja dan kemuliaan atau sekedar memenuhi kecendrungan untuk istirahat, tapi sebagai sarana instrokspeksi untuk menghitung kekurangan dan menakar kekalahan. Juga sebagai penguatan dengan mengisi kembali energi yang hilang. Sekaligus kesempatan untuk menata ulang rencana dan harapan, serta meneguhkan azzam akan kejayaan dan kemuliaan. Bahwa bukan hanya tantangan dan godaan yang layak untuk dipetakan, jelas kenyamanan yang mengumpan dan perjalanan yang bergerak linier tanpa fluktuasi patut kita pertimbangkan kembali, sebab memiliki peluang untuk melenakan dan mematikan.

Di penghentian ini kita akan berhitung, ada yang biasa menyebutnya dengan ` Muhasabah`. Seperti sebuah rumah teduh yang selalu dirindukan, kita pergi dalam perjalanan yang jauh, mendapati negeri-negeri yang baru, bertemu dengan peradaban-peradaban yang asing, di sana kita menemukan sari pati kehidupan, lalu pulang kembali ke rumah merenungkan perjalanan, pergi lagi kemudian pulang lagi.

Begitulah dititik perjalanan ini, kita memang patut berhenti dan bertanya, karena perjalanan ini relatif telah cukup jauh, dan apakah kita masih tetap setia pada takdir penghambaan kita. Sebab di tempat kita berdiri kini, jangan sampai telah terbentang jarak yang lebar dari jalan juang, jalan yang yang telah dipersyaratkan sebagai mahar untuk membayar lunas kemenangan.

Sejenak kita berhenti.

“Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat kepada Allah, dan kepada kebenaran yang telah diturunkan (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al kitab kepadanya, lalu kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” .(Al-qur`an).

Papua, Sya`ban 1430H/ Juli 2009.

Kembali

Puisi kini adalah pedang-pedang patah, nyanyian kejayaan yang tertahan
Cita mulia terserak
Lalu terbang oleh angin musim, entah kemana

Jadilah sepi kehilangan nyawa, tak bersuara
Waktu hanyalah detak yang letih
Berjalan tak peduli lagi pada inspirasi
Diri tak bernyali untuk instrokspeksi

Apa yang terjadi?
Bila semangat itu mati suri,
Ada yang mesti kembali…
Yah, kembali !!!

Di tanah-Nya, Tengah tahun 2009

Catatan Perjalanan; Terhadang Pasukan Perang

Unik dan sedikit menegangkan pengalaman hari ini, pagi-pagi dalam perjalanan mobile clinic. Sepanjang jalan dekat sebuah wilayah menok (sebutan untuk masyarakat pribumi) suku Dani, orang-orang berkumpul, tak biasanya seperti ini. Sesaat kemudian mulai terlihat di sebuah perempatan, jalan terpalang yang di jaga petugas keamanan. Semakin dekat baru kemudian tersadar bahwa keadaan sedang tegang. Satu pasukan suku Dani lengkap dengan senjata panah sedang bersiap-siap untuk perang. Kepala suku sedang berorasi membakar semangat pasukannya. Ini pertama kali saya menyaksikan momen “heroik” seperti ini. Diikuti ritual mengaitkan jari tangan, entahlah mungkin itu sebagai simbol kesetiaan bertarung sampai akhir.

Dengan memberanikan diri, saya dan seorang kawan berjalan mendekat menuju pasukan siap tempur itu, berharap ada peluang untuk memperoleh bantuan aparat untuk lewat. Namun sepertinya aparat berkonsentrasi melakukan negosiasi dengan para sesepuh suku. Beruntung kemudian seseorang mendekati kami, lelaki tua dengan sebuah badik panjang, yang rupanya seorang pasien yang pernah kami tangani. Beliau yang kemudian langsung berbicara kepada panglima pasukan dan seorang tokoh suku bahwa kami adalah tim medis yang sedang bertugas yang akhirnya memberikan kami jaminan untuk melalui palang batas yang terpasang. Tak buang waktu kami segera berlalu sebelum mereka berubah pikiran, serta masih tersisa rasa khawatir kalau saja ada anak panah yang tiba-tiba tersesat salah alamat.

Saya teringat film-film kolosal zaman Troya atau kisah ksatria sahabat Rasul berabad-abad yang lalu. Pasukan itu terlihat begitu bersahaja memanggul panah-panah dan tombak. Sementara di luar sana, orang-orang telah ramai meributkan bom nuklir, senjata kimia dan biologis, bom curah dan rudal balistik interkontinental. Apakah saya tersedot lorong waktu menuju zaman berabad-abad yang lampau? Tapi pada kenyataannya saya benar-benar hadir di hari ini. Ada peradaban yang dikhianati waktu disini ditinggalkan dalam kebersahajaan yang paling melarat.

Namun satu yang membuat saya salut pada mereka, meskipun terlihat masih begitu primitif tapi mereka ternyata masih mempunyai komitmen dan penghargaan pada kemanusiaan. Buktinya mereka membolehkan kami sebagai tim medis melewati perbatasannya tanpa gangguan. Suatu hal yang sangat berbeda apa yang telah dilakukan sang bedebah Izrael yang terkenal mempunyai kehebatan dan kecanggihan sumber daya itu. Malah menghalangi serta menembaki para relawan kemanusiaan di perbatasan. Suatu tindakan tak beradab serta merupakan bentuk karakter primitive yang asli. Hingga saya bertanya, siapakah sebenarnya yang primitif?

Timika, Jumat 5 Juni 2009