Selasa, 09 Februari 2010

Kemanakah Negeriku Berlabuh?; Sekedar catatan Kecil Akhir Tahun

“ …
Tanah pertiwi anugerah ilahi , jangan ambil sendiri
Tanah pertiwi anugerah Ilahi, jangan makan sendiri

Aku heran, aku heran
Satu kenyang, seribu kelaparan
Aku heran, aku heran
Keserakahan diagungkan…”(Perahu Retak; Franky Sahilatua)


Bayi-bayi yang lahir hari-hari ini rupanya akan menangis lebih keras, sesak menyaksikan ulah bapak-bapaknya yang sungguh tak lucu, atau jangan ditanya bila ada yang memilih untuk tak menangis sama sekali serta lebih suka untuk tak membuka mata selamanya, tak ingin menjadi saksi kepalsuan yang begitu rupa, drama murahan para aktor antagonis, berbual dan bertingkah setiap hari.
Inilah kenyataannya, kita terpuruk sebagai bangsa. Terjajah oleh kepentingan untuk membuntingkan perut sendiri, menggadai kehormatan dan meloloskan rasa malu. Menggauli kenistaan disiang hari tanpa rasa risih dan peduli. Alamat apakah ini?!

Sementara segelintir yang masih bersih disakiti dan dipaksa masuk bui, difitnah dan dizalimi. Lalu terang di sana para pelacur kekuasaan asyik bertransaksi berapa takaran keadilan dihargai. Neraca keadilan tak lagi berpihak pada kebenaran tapi telah dipalingkan kepada pemilik nominal rupiah yang tertinggi.

Entah sejak kapan tragedi itu bermula, ketika korupsi menjadi kelaziman yang teramat biasa, kolusi dan praktek suap tak lagi dianggap sebagai aib, tindakan amoral dan penyakit sosial dilanggengkan hanya dengan sebuah alasan sebuah keniscayaan peradaban yang tak bisa lawan. Lalu masih pantaskah kita bertanya bila musibah mendera begitu rajin, dan masih sempat pula mereka mencela Tuhan sebab Dia tega, ujarnya demikian. Pertanda apakah ini?!

Ramai pula berkuasa sang komparador bermental hipokrit, berlagak sok pahlawan namun tega menjual bangsa kepada penjajah, maka jadilah negeri yang kaya raya terjerat hutang yang tak kunjung lunas terbayar, kekayaan alam yang melimpah di bawah lari keluar negeri meninggalkan pribumi mengigit jari dan kekurangan gizi, sungguh tak lucu negeri penghasil energi tak berdaya dilanda krisis energi, aset strategis dijual murah sampai makhluk mikro bernama virus pun dijajakan. Kehormatan dan kedaulatan digadai.

Dan kita terus saja bermimpi pada generasi yang akan mewarisi sejarah ini, sebagai sandaran harapan untuk membangun negeri ini kelak, namun apa yang terjadi bila sekolah tempat mereka membenihkan inspirasi dipenuhi dengan praktek manipulasi. Sungguh kita menyaksikan sekolah-sekolah anak negeri hari ini ramai memproduksi insan-insan yang lemah intregritas diri. Bila ini tak berhenti dua puluh sampai tiga puluh tahun kedepan mengharap negeri ini akan bermartabat serta bebas dari moral yang berpolusi masihlah sebatas mimpi.

Lalu terdengar aneh bila seorang anak muda yang memilih bertahan dan tak ingin melakoni perilaku suap dan korup, seperti halnya seorang anak belia di bangku sekolah yang menasihati gurunya saat ‘berderma’ membagikan jawaban saat ujian. Siapakah mereka? Namun sejatinya merekalah anasir perubahan untuk masa depan yang gemilang, mereka yang tegar bernafas ditengah keruhnya udara yang dipenuhi toksin, menjaga imunitas diri demi melawan penyakit zaman yang telah edan. Dibutuhkan keteguhan untuk mendukung mereka menjadi bilangan dominan, agar bisa menggantikan dan mempersilahkan bapak-bapaknya mundur saja yang hanya bisa berpidato penuh retorika dan sibuk memoles citra diri, terlebih lagi para sepuh yang menyebut dirinya wali amanah tapi aslinya hanyalah mafia pelaku durjana.

Kita tak ingin bahtera besar bangsa ini karam sebelum berlabuh, adalah ditangan kita untuk mengawal perjalanan agar kelak tiba di tanah harapan. Memberi apa yang kita punya, bekerja apa kita bisa. Bukan menjadi penumpang yang justru merusak dan membuat retak dindingnya. Kita masih punya waktu untuk berbenah diri, sebelum bahtera besar bangsa ini benar-benar pecah lalu karam.Kita akan membawa bahtera besar bangsa ini berlayar gemilang seperti bahtera nabi Nuh menaklukkan badai. Kita bisa!-n
“…
Perahu negeriku, perahu bangsaku
Jangan retak dindingmu
Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu
Jangan terantuk batu…” (Perahu Retak; Franky Sahilatua)

Bunta-Banggai, Penghujung Tahun 2009

Tidak ada komentar: