Selasa, 09 Februari 2010

Tak (boleh) Lelah Berharap

Harapan atau cita-cita adalah nafas sebuah gerak, dan gerak adalah syarat sebuah kehidupan yang punya makna. Tanpa gerak kehidupan layak disebut mati meski ia masih saja bernyawa, dengan kalimat yang lain bahwa hidup yang kehilangan cita-cita seperti arus sungai yang berhenti merindukan samudra, berhenti untuk mengalir, membiarkan harapannya tergenang, diam dan kemudian merusak dirinya sendiri.

Cita-cita itu adalah isyarat iman, sebab iman menghadirkan harapan, maka mereka yang paling beriman adalah mereka yang paling kuat menegakkan harapannya, memupus harapan adalah gejala terang kematian iman.

Seperti seorang ibu menyusukan anaknya sepenuh cinta karena sebuah harapan, petani turun keladang, menanam dan merawat tanamannya dengan ketekunan yang tinggi juga karena harapan, juga guru tak lelah membimbing anak-anak asuhnya di sebabkan harapan, sebagaimana seorang beriman menyempurnakan pengabdiaannya juga karena harapan. Bukankah anak kecil merangkak terjatuh dan bangkit kembali untuk merangkak karena dorongan dari sebuah harapan.

Kita semua membutuhkan harapan itu, dalam apapun ukuran kapasitas dan bentuk keadaan kita, sebagai anak muda, sebagai orang tua, sebagai penuntut ilmu, sebagai hamba Allah, sebagai rakyat biasa atau pemangku kuasa, dalam keadaan sehat, ketika lapang, dalam keadaan sakit atau di saat jatuh dan tak berdaya dan seterusnya atau bahkan para pendosa sekalipun atau disaat berjaya pun selalu membutuhkan harapan.

Harapan juga adalah obat, berapa banyak orang-orang yang didera dengan rasa sakit yang begitu berat, sampai semua pintu seolah tertutup kecuali satu yaitu memilih bertahan untuk tetap berharap, lalu kemudian harapan itu menjadi penebus atas segala deritanya, bebas dari deraan dan merdeka untuk merayakan rasa syukurnya. Ada yang menyebutnya sebagai mukjizat, namun apapun namanya, ini adalah bukti kedahsyatan harapan yang dirawat dengan baik.

Harapan pun layak disebut doa, bahkan meski ia belum lagi dipanjatkan. Bila sebuah harapan disuburkan dengan persangkaan yang baik kepada-Nya dalam keyakinan yang kuat. Maka kita seperti menggerakkan semesta untuk bekerja dalam mewujudkan harapan-harapan tersebut, sebab kita sama memahami bahwa Keputusan-Nya mengikuti persangkaan sang hamba. Maka harapan yang diyakini adalah doa yang kuat.

Dan tak ada yang ingin memungkiri bahwa harapan adalah kekuatan, ketika harapan itu ditumbuhkan maka ia akan membangunkan kemauan yang tertidur di dalam diri, dan jika kemauan itu membesar menjadi azzam (tekad) maka ia akan berubah menjadi dorongan kekuatan yang menggerakkan raga untuk bertindak. Kekuatan yang tak jarang meremehkan keletihan dan menertawakan ancaman.

Jadi hidup tanpa harapan seperti membiarkan diri sendiri memasuki ruang tak berjendela dan juga tanpa nyala lentera, gulita tiada cahaya. Hidup yang mengundang lebih awal kematiaanya sebelum waktunya tiba. Maka berpengharapan mutlak bagi kehidupan yang bermakna.

Lalu bila ternyata harapan-harapan itu lama belum juga terwujud, kita tak boleh letih berharap, tetaplah meyakininya sampai harapan kita bertemu dengan kehendak-Nya, pada waktu yang tepat menurut ukuran-Nya.

Selalu ada kabar gembira bagi mereka yang yakin, bahwa harapan yang baik tak pernah sia-sia. Wallahu alam-n


• Mengapa hari-hari ini semakin banyak orang yang mudah menyerah atas kehidupannya, memilih untuk membunuh nyala harapan itu, seperti sebuah siang ketika seorang ibu dengan usia kehamilan delapan bulan yang masuk UGD dengan percobaan bunuh diri, mengiriskan luka di atas urat nadinya.

Puskesmas Bunta, Banggai Sul teng, Desember 2009.

Tidak ada komentar: