Selasa, 09 Februari 2010

Mengenang Perjalanan

Kubayangkan punya rumah mungil diatas bukit, dengan beranda meghadap teluk. Dibelai angin dan dimanja cahaya. Seluruh bentang hari yang berlomba menampakkan keindahannya tampak jelas dari jendela tak berkaca.
Kemudian pergi kemana-mana, bertualang kebanyak tempat, bertemu banyak orang, merasakan banyak pengalaman, mengumpulkan kenangan dan sari pati kehidupan, lalu kembali ke rumah merenungkan perjalanan itu.

Seperti hari ini saat terkenang lagi kepingan-kepingan mozaik perjalanan itu. Perjalanan yang telah cukup usia untuk tak lagi disebut belia. Perjalanan yang telah banyak memberikan cerita yang mengagumkan, pengalaman yang mengesankan, kenangan yang tak terlupakan juga pelajaran-pelajaran yang mencerahkan.

Tentang sebuah pagi yang dingin ketika hadir berdiri di antara ilalang, menghirup aroma tanah yang masih basah dibasuh hujan, atau suatu senja di tengah samudra saat matahari beranjak turun memeluk bumi, ataukah ketika sepertiga malam terakhir di pulau kecil yang hening, sempurna khusyuk milik alam. Itulah saat jiwa seolah berdialog dengan semesta, komunikasi tersambung dengan bahasa tanpa suara, tanpa perlu kata-kata namun engkau akan mengerti, di sini, di dalam diri.

Seperti juga bila tiba-tiba berada di tengah sebuah tragedi, turut merasakan aroma kesedihan yang menggenang, larut bersama deras perasaan yang pekat dengan kecemasan, ketakutan adalah wajah-wajah kehidupan yang amat terang, kehampaan menyapu bersih harapan entah kemana. Hadir saat itu sebagai penyokong dan penguat asa serta keyakinan. Jiwa menemukan ruang yang lapang untuk berbagi.

Atau saat perjalanan menyuguhkan ketegangan, saat tak ada pilihan berpegang kepada selain-Nya. Ketika sadar begitu murni akan kebutuhan pada-Nya, diri merasa kecil tak berdaya, takluk pada kuasa alam raya yang dahsyat, padahal sungguh itu baru saja ciptaan-Nya belum lagi pencipta-Nya.

Juga bahkan ketika hening menguasai, pada sebuah jejak di tanah yang jauh, saat menatap rintik jatuh seperti sejuta anak panah menghujam teluk yang teduh, riaknya tenang dan sampan bergerak perlahan, lalu pertanyaan itu tiba-tiba hadir ”apa alasan takdir membawaku ke tanah ini”?

Namun pada akhirnya, kemanapun perjalanan itu dilesatkan, atau takdir membuang diri entah di mana, bahkan seperti apapun raut muka kehidupan berwujud, di sana, selalu saja ada yang sama. Bahwa perjalanan selalu bertutur tentang wajah Tuhan yang menawan.
Bahwa perjalanan pada akhirnya pasti berkehendak membawa kita bermuara kembali kepada-Nya.

Rumah di atas bukit di depan teluk, Perumdos Untad Palu, awal September 2009

Tidak ada komentar: