Selasa, 05 Februari 2013

Buat Apa Bermaulid 2

Bulan maulid di negeri kita tak jauh berbeda dengan agustusan, bulan kita memperingati kemerdekaan, di kampung-kampung ramai orang-orang merayakan, anak-anak hingga lansia turut dalam kenduri yang tumpah ruah, pejabat negara tingkat elit hingga birokrat level desa pun turut serta, kantor-kantor, sekolah-sekolah, terutama masjid-mesjid berlomba-lomba tak ingin ketinggalan. Perayaan ini memang tak sembarangan, tak sering mesjid penuh sesak oleh jamaah kecuali dalam beberapa kesempatan, hanya pada saat ramadhan, lebaran, juga saat maulidan. Ramai orang membawa makanan, telur yang dihiasi bebungaan, tak ada yang meminta untuk itu, tak ada syariat yang menganjurkan, tapi seperti keharusan, tak afdol rasanya bila para ibu tidak mengambil bagian. Ada sebuah kampung kecil di ujung timur Sulawesi Tengah, yang merayakan maulid dengan begitu sumringah, layaknya lebaran yang ketiga. Makanan dibuat berlimpah, pintu rumah-rumah terbuka seharian, tamu-tamu berdatangan keluar masuk berziarah menyantap maknanan manis hingga yang beraroma rempah-rempah. Saat pulang engkau boleh pula membawa buah tangan. Ada juga kawan yang setiap tahun hukumnya wajib pulang kampung merayakan maulid, konon setiap maulid di kampungnya dihadiri pejabat tingkat gubernur sampai menteri, tak pulang baginya adalah aib bagi keluarga. Pulang merayakan maulid Nabi dalam ritual yang aneh dan tak pernah dianjurkan oleh Sang Nabi. Tahun lalu turut diundang juga menghadiri perayaan maulid pada sebuah mesjid, datang telat tapi dipaksa-paksa duduk di depan, mendengarkan ceramah sebentar, saat pulang dapat oleh-oleh satu paket telur, ayam dan teman-temanya, dan ini yang paling seru. Bulan Maulid memang banyak miripnya dengan bulan perayaan kemerdekaan, tentang seremoni dan ritual tahunan, beramai-ramai, bergembira, seasaat lalu usai. Hingar-bingar tapi miskin pemaknaan. Para jamaah yang datang lebih mementingkan rebutan telur daripada mendengar takzim hikmah maulid dibawakan. Katanya biar dapat berkah, entah berkah dari mana. Kita memang suka latah, tanpa mengerti sejatinya perbuatan, yang penting latah. Entah kapan kebiasaan ini bermula, beramai-ramai merayakan kelahiran Nabi yang mulia layaknya pengikut agama yang lain merayakan hari lahir tuhan mereka. Pernahkah kita menemukan dalam sunnah atau dalam kitab-kitab rujukan yang sahih ada anjuran Nabi untuk bermaulid? Seandainya ritual ini adalah hal yang utama dan mulia maka kita tak pernah bisa mendahului para sahabat yang dipuji Allah dan generasi terbaik setelahnya dalam merayakan maulid ini. Tapi kenyataannya mereka tak pernah memulainya. Bila sejatinya maulid ini adalah momentum untuk mengenang Nabi, memperbaharui kencintaan terhadap beliau, maka sesungguhnya agama ini telah sempurna, tak layak dikurangi dan butuh lagi ditambah-tambah, cukuplah apa yang telah ditunjukkan oleh orang-orang yang mencintai Nabi dengan seluruh yang ada pada dirinya. Sejatinya pengikut Nabi yang baik tak membutuhkan satu hari atau beberapa hari untuk mengenang dan memuliakan beliau, lalu kemudian alfa dihari-hari yang lainnya. Sebab mereka telah menghabiskan waktunya, harinya secara kesuluruhan, dalam mencintai Nabi dengan perasaan, pikiran dan perilakunya. Bila ada yang berkata bahwa maulid itu adalah wujud cinta kepada Nabi, maka setiap hari mereka adalah maulid. Salam dan sholawat semoga tercurah kepada junjungan yang mulia Muhammad S.A.W. Suppa, Februari 2013