Sabtu, 17 Mei 2008

Ketika Aku dan Kau Tak Menjadi Kita

"Kita berhak mencintai siapa saja, dan adalah hak Allah untuk untuk ditaati Syariatnya"

Suatu siang, beberapa tahun silam, berbincang di halaman sebuah masjid, ketika seorang sahabat tiba-tiba bertanya, "apakah engkau percaya pada cinta sejati"? Saya tak menjawab, hanya tersenyum. Menurutnya banyaki orang yang awalnya saling mencinta, kemudian tiba-tiba saling membenci. Kenyataanya banyak orang yang mulanya berkasih sayang kemudian saling bermusuhan. Lalu kami pun berpisah membawa imajinasi masing-masing.
Bertahun kemudian, pada suatu malam, duduk di tepi jalan, ketika sahabat yang sama waktu itu, kembali membuka cerita tentang cinta. Tak lagi bertanya, ia justru bercerita tentang pencariaanya, tentang perjalanan cintanya yang tak sampai, malah membuatnya mengerti tentang cinta, cinta yang jujur, tegasnya demikian.
Bahwa cinta tidak berlokus di dalam diri, tapi berorientasi pada yang dicinta. Cinta pada maqam ini, tak lagi perlu diberi, tapi selalu ingin memberi. Tak butuh dilayani justru berbahagia dengan melayani. Kebahagiaan sang pencinta hadir ketika ia memberi, melayani bahkan berkorban. Saat itu cinta tak harus memiliki, karena mencintai tidak terbatasi dimensi ruang dan waktu, bisa dimana saja dan setiap saat. Gagal memiliki tidak berarti gagal mencintai.
Saya pun kembali tersenyum, tak banyak komentar. Sebab saya memang tak banyak mengerti tentang cinta. Yang saya tahu, bahwa cinta itu suci, maka jangan dibunuh rasa itu, tapi bingkailah dengan cahaya.
Maka selamat mencinta kawan...-nuas-

* Untuk sahabatku Halfian "phiank" Syam di Makassar, yang diam-diam saya belajar banyak darinya. Ana uhibbuka fillah akhi..
Ambon, Mei 2008

Tidak ada komentar: