Kamis, 23 Januari 2014

Catatan Perjalanan; Pulau Kecil di Timur Jauh

Akhir tahun tepat ketika Desember hampir selesai menanggalkan semua hari-harinya, menyisakan penghujungnya saja yang beberapa , cuaca kota Sorong sangat bersahabat, langit biru cerah, awan-awan berarak ringan bersama angin yang membawanya dengan begitu tenang. Kali ini hujan tak datang berderai-derai , tak seperti lazimnya Desember yang selalu basah. Musim yang sumringah, ya, tentu saja ini membuat kami tambah bersemangat memenuhi sebuah undangan dari kawan-kawan CI (Conservation International) Indonesia, sebuah lembaga konservasi yang keras kepala menjaga dan memelihara ekosistem dan sumber daya alam hayati perairan di Raja Ampat dan tak lupa melakukan pembinaan masyarakat pesisir. Mereka mengajak untuk melakukan perjalanan ke Kepulauan Ayau, dalam sebuah perhelatan budaya tahunan masyarakat setempat merayakan Natal dan Tahun Baru. Sebenarnya undangan ini adalah dalam kapasitas sebagai tim medis untuk memberikan pelayanan kesehatan ke masyarakat Pulau terluar Nusantara tersebut, tapi lebih dari itu, bagi kami hal ini tentu saja menjadi momen liburan dan petualangan menantang akhir tahun. Sekiranya kita membuka peta Nusantara,di ujung timur, celah antara kepulauan Maluku Utara dan tanah hijau Papua maka terdapatlah kepulauan Ayau ini tampak sebagai gambar bulatan atau justru sekedar noktah kecil di perairan bagian utara kepala burung Papua. Faktanya kepulauan ini memang hanyalah gugus pulau kecil yang tampak terapung-apung di bibir samudera Pasifik, sejenak saja berjalan sedikit lagi ke arah utara maka sampailah kita di negara tetangga Republik Palau di kawasan Pasifik. Dengan speed boat yang diawaki motoris dari CI, bergabung juga bersama kami dua peneliti berambut jagung, sepasang anak muda dari Amerika, mereka mempunyai minat yang tinggi terhadap kehidupan orang-orang pesisir, terkagum-kagum dengan Indonesia yang kemudian membawa mereka tiba di nusantara, lalu ‘tersesat’ di Raja Ampat menekuni pengamatannya di sini. Bersama mereka rombongan berangkat bergerak membelah perairan Raja Ampat. Perjalanan ini sungguh menakjubkan, dari tepiannya, laut masih tampak begitu bersahaja dengan riak-riak bermain di atas permadani biru yang lembut, namun semakin jauh berjalan semakin hebat arus laut menderas, gelombang bergulung seperti bukit yang bersusul-susulan, ombak diikuti ombak, setelah ombak masih ada ombak, lalu di baliknya menggulung ombak lagi. Boat melayang di puncak gelombang lalu terhempas di dasarnya lalu bersiap pada gulungan selanjutnya, keadaan ini sungguh mendebarkan dan menguras adrenalin dan tentu saja berhasil mengaduk-aduk isi rongga perut. Walaupun mendebarkan, ketegangan perjalanan ini tetap saja masih mengalah dari daya pukau yang tersuguhkan, bukan Raja Ampat namanya bila tak mempesona. Pasir putih dan pulau sunyi sebuah harmoni dengan nuansa misterius, memukau dengan segala kemungkinan. Lumba-lumba yang mengiring mendekat-dekat di samping kiri-kanan boat dalam jumlah puluhan bahkan mungkin sampai ratusan, bermain dan berlompatan seperti rombongan pasukan karnaval yang riuh, parade ikan-ikan terbang yang bermanuver rendah diatas permukaan air adalah pemandangan seru yang lain. Ini seperti perjalanan kedunia fantasi memasuki dunia lain yang asing, seperti khayalan tapi ini benar-benar nyata. Beberapa jam perjalanan ketegangan belum juga selesai, di tengah semudera yang luas, di tengah biru yang tak bertepi, GPS tak berfungsi, tak ada pertanda, tak ada pulau yang menjadi titik acu, kami benar-benar seperti buih yang terombang-ambing ditengah semesta biru kehilangan arah. Benar-benar biru, hanya biru di mana-mana. Di depan biru, di belakang juga biru, menghadap ke atas langit biru tak ada batas, menengok kebawah air laut hanya biru yang mencekam. Tuhan memang melukis semesta dengan warna biru yang banyak. Sementara kami tak piawai menetukan arah dengan membaca pergerakan hembusan angin, tak bisa menarik pedoman dari tabiat arus laut bulan desember, kami telah tersesat di sahara biru. Resikonya besar, salah sedikit saja menentukan arah kami bisa terdampar ke perairan Filipina, bertemu dengan patroli laut, ditangkap, diinterogasi lalu dideportasi layaknya pendatang haram setelah sebelumnya semua harta benda dibumihanguskan. Atau malah terseret ke arah yang lain, terapung-apung di pedalaman samudera yang sunyi, kemudian kehabisan bahan bakar, lalu kehabisan logistik, hilang ditelan kabut Pasifik, samudera dengan legenda yang membekukan semua nyali. Beruntung saat-saat dramatis itu tak berlangsung lama, ketika kemudian kami melihat sebuah perahu besar berwarna hijau melepas jangkar di kejauhan, perlahan kami mendekat semakin merapat, yang rupanya mereka adalah nelayan asal Filiphina yang sedang bersenang-senang dengan santainya memunguti harta karun laut kita , kami menemukan kenyataan betapa masih lemahnya kedaulatan maritim negeri ini. Kawan dari CI kemudian mencoba menasihati tapi tak bisa berbuat banyak, mereka menang jumlah, lagi pula kami jelas butuh mereka, butuh petunjuk arah pulau yang kami tuju. Mendekati pulau, laut tak lagi biru, adalah hijau yang jernih dengan rumput laut yang bergoyang-goyang dan karang-karang yang terhampar, boat melaju perlahan diatas reef yang luas, seolah kami bisa menjangkau saja dasar laut yang putih. Pasir putih yang halus, membentang seperti rentangan panjang yang hangat menyambut kami, juga nyiur yang berbaris rapi di sisi timur tak berhenti melambai seolah-olah menyapa kami. inilah Ayau, pulau indah di sisi terluar nusantara. Pulau ini mungil saja, anda takkan kelelahan berjalan menemukan ujungnya dari sisi yang lainnya, paginya bisa menikmati matahari yang menguncup dari samudera, sorenya boleh mengagumi senja yang memerah, matahari tergelincir di kaki langit. Tapi cerita pulau ini bukan hanya tentang keindahan yang tak selesai-selasai, tapi juga tentang orang-orang yang menarik, juga budaya yang unik. Orang-orang di sini lebih senang beralas pasir, tidur dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga di atas pasir, rumah-rumah tanpa alas hanya pasir, anak-anak hingga dewasa menyukai pasir, mereka tak membutuhkan permadani yang empuk apalagi yang mahal-mahal, seluruh pulaunya adalah pasir, mereka tak perlu tergoda atas selainnya. Mereka menikmati hidup dengan cara-cara yang sangat sederhana, berbahagia dengan jalan yang bersahaja. Dan tepat pada hari yang telah ditentukan, hari karnaval budaya, berbondong-bondonglah kelompok masyarakat datang dari pulau-pulau sekitar, rombongan datang dengan antraksi masing-masing, suara tifa, rebana, seruling dan terompet bersahut- sahutan, setiap kelompok menunjukkan kehebatan timnya berpawai, tak kurang dari 24 jam tak ada jeda keriuhan membahana, siang hingga malam hingga siang lagi tak berhenti, mereka meluapkan semangat seperti karasukan, berjalan, melompat, berputar-putar dalam kegaduhan alat musik tradisional, setiap satu kelompok istirahat diganti oleh kelompok yang lain, hari itu pulau tak bisa tidur walau sejenak. Inilah pesta mereka mungkin untuk membayar sunyi sepanjang tahun di pulau mereka yang terpencil, sungguh-sungguh terpencil. Akhirnya kami tahu ini sungguh perjalanan yang mengagumkan, bukan saja tentang petualangan-petualangan menggoda tantangan, atau suguhan panorama yang menakjubkan, tapi juga perjalanan budaya membaca keragaman manusia, kebiasaan serta juga kearifan. Dan berharap ini juga adalah perjalanan ruhiyah, sebagai laku transendensi, menyimak kebesaran-Nya, menjernihkan kesadaran dan menemukan lagi seribu alasan untuk bersyukur. Semoga.

Tidak ada komentar: