Kamis, 26 Desember 2013

Serial Catatan Perjalanan; Mesjid yang Sendiri

Di sebuah camp pengungsi dekat Lokh Nga, kami tinggal dalam satu tenda bersama seorang Bapak, istri dan kedua orang anaknya. Tenda kami cukup luas untuk ditinggali bersama-sama. Biasanya saat makan bersama sang bapak atau istrinya bercerita tentang kejadian pagi itu, ketika gempa lalu tsunami yang dahsyat itu terjadi. Suatu pagi mereka mengajak kami ke lokasi bekas rumahnya dulu berdiri, sambil mencari-cari kalau-kalau bisa menemukan jazad anaknya yang hilang, berharap ada diantara reruntuhan puing-puing yang tersisa. Kami berangkat pagi-pagi naik sepeda ontel yang dipinjamkan sang bapak, menuju kampung Lampuuk dekat pantai Lokh nga. Matahari sudah beranjak naik saat kami tiba di pantai, kami di suguhi dengan pemandangan yang menggetarkan, membayangkan kalau dulunya tempat ini adalah kawasan yang indah, ramai dan sibuk, tapi hari itu laut hanya sepi, ombak yang mendebur di pasir pantai yang putih seolah nyanyian yang pilu, angin berhembus membelai-belai sisa batang pinus yang patah berserak, niyur yang terpekur besujud menghadap ke barat, bangunan-bangunan yang roboh menyerah kalah rata memeluk tanah. Sesekali anjing-anjing berlarian diantara gundukan tanah dan batu melolong ataukah mungkin sedang menangis pilu, entahlah, kami juga tak tahu. Kami Seperti sedang berdiri di tengah kuburan yang luas, terasa sepi meski sesungguhnya tidak. Pagi itu melihat dahsyatnya akibat dari tsunami, sesungguhnya cukup membuat hati bergetar, tak ada yang tersisa kecuali yang izinkan oleh Allah, semua tersungkur; tiang-tiang, pohon, menara, rumah, kantor, jembatan atau apa pun. Tak ada yang tak bersujud kecuali yang Allah pilih untuk tetap tegak. Adalah sebuah mesjid di tengah reruntuhan terlihat di kejauhan, sendiri dan tetap tegak. Di Kampung ini tak satu pun bangunan yang bertahan untuk tetap tegak kecuali mesjid ini sendiri. Sepanjang mata memandang kami tak mengerti bagaimana tsunami itu bekerja membuat semua bangunan lain menjadi rata seperti remah-remah berserakan, atap dan dinding bangunan terlepas menyisakan pondasi sebagai jejak. Seorang kawan segera bersujud di lantainya yang masih berpasir begitu memasuki ruangnya. Saya hanya bertasbih mengulang-ulang nama Allah di sini memperhatikan pilar dan dindingnya yang tetap kokoh, hanya ada sedikit bagian yang retak dan terbuka. Kami kemudian menyempatkan naik ke atap mesjid, berdiri dekat kubahnya yang megah. Melihat sekeliling dari atas walau sesungguhnya kami sedang menyaksikan kengerian yang hebat. Bangunan ini betul-betul sendiri, seolah memang sengaja disisakan agar menjadi berita dan pelajaran, beginilah titah Tuhan bekerja, cukup baginya “Kun” maka Fayakun (“Jadilah” maka jadilah ia). Lembah ini pasca tsunami benar-benar menjadi lembah yang sepi, hanya tersisa sebuah bangunan yang tegak sendiri. Sebuah tempat untuk bersujud…kepada-Nya. “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (Al qur`an Surah As-Sajdah : 15) Mengenang 9 Tahun Tsunami Aceh, 26 Desember 2013

Tidak ada komentar: